Ahad 11 Sep 2016 16:34 WIB

Penerima LPDP Ajak Pelajar SD Menulis Sumpah Pemuda dalam Tujuh Aksara Daerah

Rep: mg01/ Red: Muhammad Fakhruddin
Siswa dari beberapa sekolah dasar yang menjadi peserta untuk memecahkan rekor baru di Museum Rekor Indonesia (MURI).
Siswa dari beberapa sekolah dasar yang menjadi peserta untuk memecahkan rekor baru di Museum Rekor Indonesia (MURI).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menulis Sumpah Pemuda menggunakan huruf latin sudah menjadi hal lumrah yang dapat dilakukan oleh kebanyakan orang. Akan tetapi, menulis Sumpah Pemuda menggunakan tujuh aksara daerah asli Indonesia, itu baru bukan hal yang dapat ditemukan setiap harinya. Ikrar yang menjadi penyemangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya bangsa ini dimaknai secara berbeda dalam rangka Hari Aksara Internasional yang jatuh pada 8 September setiap tahunnya.

Adalah peserta Persiapan Keberangkatan angkatan 77 Garuda Aksara penerima beasiswa pendidikan Indonesia dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang memprakarsai acara tersebut. Bukan hanya tujuh aksaranya saja yang membuat Sumpah Pemuda di acara yang bertajuk “Gebyar Aksara Nusantara” itu berbeda dari biasanya. Jum’at pagi itu, halaman di Wisma Hijau Depok diramaikan dengan anak-anak dari beberapa sekolah dasar yang menjadi peserta untuk memecahkan rekor baru di Museum Rekor Indonesia (MURI).

Ketua Acara Gebyar Aksara Nusantara, Yudhistira Sudesno, mengatakan ini akan menjadi catatan sejarah baru bagi Indonesia karena baru pertama kali Sumpah Pemuda ditulis dalam tujuh aksara daerah. “Untuk saat ini, jumlah perserta mencapai lebih dari 200 peserta, sebenarnya itu melebihi ekspektasi kami yang jumlahnya hanya 140 peserta saja awalnya. Para peserta tersebut menulis dengan aksara daerah dan nantinya akan kami dokumentasikan untuk diberikan ke pihak MURI,” jelas Yudhistira pada Republika.

Peserta sebanyak itu didapatkan dari mengundang anak-anak dari enam SD, satu SMP, satu SMA dan beberapa guru pendamping di wilayah Depok untuk memeriahkan acara tersebut. Beberapa SDN di antaranya adalah SDN Mekarsari 1, 2, 3, 6, SDN Cisalak 3, dan SDN Tugu 2 serta SMPN dan SMAN Harapan Bangsa. Pelajar dari sekolah - sekolah tersebut memang menjadi target utama pengenalan ketujuh aksara tradisional Indonesia karena mereka yang akan meneruskan tongkat estafet pelestarian budaya lokal Indonesia di masa depan. 

Ketujuh aksara tersebut terdiri dari aksara Rejang, Sunda, Jawa, Lontara (Bugis), Minang (Ruweh Buku), Pegon, dan Bali, cerita Yudhis, “Sebenarnya Indonesia sendiri memiliki banyak aksara. Namun, secara literaturnya sendiri kami hanya mampu memvalidasi tujuh aksara tersebut,” ungkapnya.

Yudhistira menambahkan, “Metode pemecahan rekor MURI yaitu dengan cara menebalkan aksara daerah dari yang bertulisankan ikrar Sumpah Pemuda yang sudah dibuat garis putus - putus. Diharapkan tidak hanya mengenalkan aksara daerah kepada generasi muda, anak-anak tersebut akan kami coba tumbuhkan rasa nasionalisme dengan secara tidak langsung ikut membaca ikrar sumpah pemuda. Seperti yang kita tahu, rasa nasionalisme di kalangan pelajar Indonesia sekarang ini mengalami degradasi karena serangan budaya asing.”

Pernyataan tersebut disambut oleh salah seorang guru, Rina Hastarita. “Nilai yang bisa ditanamkan untuk anak-anak lewat acara ini itu pendidikan karakter. Itu karena sekarang sedang digalakkan pendidikan karakter,” ucap Rina yang membawa murid-murid kelas empat SD Mekarsari 6 Depok.

Tidak hanya itu, Rina mengaku mendukung acara Gebyar Aksara Nusantara karena saat ini di sekolah aksara daerah tidak menjadi bagian mata pelajaran para siswa. “Saya mendukung acara seperti ini karena menjadi pendidikan di luar sekolah. Sebenarnya pendidikan itu tidak melulu dari dalam sekolah. Mereka juga harus belajar dari lingkungan sekitar supaya wawasannya luas, tidak hanya dari sekolah saja,” sambungnya.

Salah seorang peserta yang mendapat bagian menulis Sumpah Pemuda dalam aksara Bali, Ria (10 tahun), mengaku senang dapat hadir pada acara ini. “Aku suka menulis aksara Bali dan tertarik buat belajar aksaranya lebih dalam. Soalnya aku memang suka sama sesuatu yang tradisional,” kata siswi SD Mekarsari 2 Depok ini.

Direktur Keuangan dan Umum LPDP, Syahrul Elly, menilai adanya pernyataan seperti itu menjadi bukti pesan acara ini dapat tersampaikan. “Aksara yang ada di setiap daerah itu heritage tersendiri yang harus kita jaga. Kalau kita tidak tanamkan pada mereka, tahun-tahun ke depan aksara tersebut dapat saja musnah. Kami berharap anak-anak tersebut dapat lebih aware kalau Indonesia itu seperti ini dan punya warisan yang harus dilestarikan.”

Selain menulis Sumpah Pemuda dalam tujuh aksara daerah, peserta Gebyar Aksara Nusantara ini juga dapat menulis nama mereka menggunakan aksara daerah dalam stand “Aksarakan Namamu” yang disediakan acara ini. Tidak hanya stand menulis nama saja, ada juga stand peragaan mencuci tangan, bermain memanah, bagi-bagi buku gratis, dan Icip-Icip Negeriku (jajanan dari berbagai daerah di Indonesia).

Yudhistira melihat acara tersebut cukup disambut baik oleh para pengunjung. “Kalau saya melihat dari apa yang mereka lakukan. Anak – anak  ikut bernyanyi dan menari di acara ini. Itu menjadi bukti mereka cukup antusias dan senang dengan acara Gebyar Aksara Nusantara ini. Mereka juga cukup telaten saat menulis aksara-aksara tersebut,” ujarnya di tengah-tengah acara.

Meski banyak kendala yang dihadapi, Yudhistira menilai kendala terbesar berkaitan dengan  teknis di lapangan. “Kendalanya dari segi bagaimana membuat pengunjung interaktif dan mengondisikan anak-anak untuk bermain di acara kami. Akan tetapi, alhamdulillah berkat bantuan, kerjasama tim, dan keaktifan seluruh anggota Garuda Aksara selama persiapan dan pelaksanaan acara, semuanya dapat berjalan lancar,” jelas Yudhistira.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement