Jumat 02 Sep 2016 22:21 WIB

Ombudsman Temukan Penyimpangan Pendaftaran Sekolah yang Kian Canggih

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Budi Raharjo
Guru mengajar di kelas.  (Ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Guru mengajar di kelas. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Lely Pelitasari Soebekty menyayangkan ketidakhadiran perwakilan dari Kemendikbud dalam paparan temuan maladministasi dalam pelaksanaan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) nasional 2016 oleh Ombudsman. 

Ombudsman melakukan pertemuan dengan tiga Kementerian yaitu Kemendagri, Kemenag, dan Kemendikbud di kantor Ombudsman di Jakarta. Pertemuan itu terkait hasil pemantauan nasional Ombudsman di 33 Provinsi. Namun utusan dari Kemendikbud tidak hadir tanpa pemberitahuan.

Sesuai dengan kewenangan Ombudsman dalam Pasal 8 UU 37 Tahun 2008, Ombudsman dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, berwenang menyampaikan saran kepada penyelenggara layanan publik untuk perbaikan dan penyempurnaan pelayanan publik.

Dalam kesempatan itu Ombudsman diwakili Ahmad Suaedy (anggota Ombudsman), Ninik Rahayu (anggota Ombudsman),  dan Adrianus Meliala (anggota Ombudsman). Mereka memberikan evaluasi dan saran perbaikan nasional secara menyeluruh terhadap pelaksanaan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB). 

Ahmad Suaedy, yang juga pengampu dalam kegiatan tersebut, menyebutkan dalam PPDB 2016 terjadi berbagai penyimpangan yang lebih canggih. Misalnya, tindakan rekayasa online hingga tekanan dari para pejabat daerah dan kalangan aktivis untuk memaksa panitia PPDB melanggar aturan. Pungutan liar juga masih marak dalam pelaksanaan PPDB kali ini.

Suaedy menyebutkan, berbagai maladministrasi tersebut hanya bisa diselesaikan dengan sinergi antar tiga instansi tersebut sehubungan dengan otonomi daerah. Kepala daerah memiliki peran penting dan kebijakan dalam pelaksanaan dan pencegahan maladministrasi PPDB. 

“Namun kuncinya tetap ada di Kemendibud. Jika Kemendikbud tidak peduli dengan maraknya maladministrasi, berupa penyimpangan, pungutan liar dan KKN, maka bisa dikatakan mereka tidak punya niat baik untuk memperbaiki PPDB berikutnya,” ujar Suaedy melalui siaran resminya, Jumat (2/9). 

Bentuk maladministrasi yang Ombudsman temukan antara lain, berupa rekayasa PPDB Online. Yaitu, pihak Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota patut diduga telah merubah nilai PPDB Online dari beberapa siswa yang ingin melanjutkan pendidikan dari SMP ke SMA dengan cara bekerjasama dengan provider yang mendapatkan pekerjaan dari Dinas tersebut.

Di samping itu, siswa yang sudah masuk dalam PPDB Online hasil seleksi terakhir, seharusnya melakukan daftar ulang. Namun ada beberapa siswa yang tidak melakukan daftar ulang karena diterima di sekolah lain. Anehnya, nama siswa itu tidak dihapus melainkan digantikan oleh siswa lain secara tidak resmi dengan cara membayar atau atas pengaruh pejabat tertentu.  

Pengaruh dari desakan dan kedekatan membuat kepala sekolah, dinas atau kepala daerah tidak berani menolak siswa titipan itu. Siswa titipan itu datang dari anggota legislatif, aparat penegak hukum dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement