REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mendeteksi munculnya fenomena La Nina pada akhir Agustus 2016 hingga awal 2017 mendatang. Bersamaan dengan fenomena La Nina terjadi fenomena Dipole Mode negatif dan anomali suhu muka air laut di beberapa wilayah Indonesia, yang mengakibatkan 'kemarau basah.'
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan kombinasi antara La Nina, Dipole Mode dan anomali suhu muka air laut yang hangat, berdampak signifikan meningkatnya bencana di Indonesia. Lebih dari 95 persen dari bencana tersebut adalah bencana hidrometeorologi yang dipengaruhi oleh cuaca, seperti longsor dan banjir.
Dibandingkan dengan kejadian bencana pada 2015, jumlah korban meninggal dan hilang pada 2016 kini telah meningkat 54 persen, dari 167 (2015) menjadi 257 (2016). "Secara keseluruhan jumlah kerusakan 2016 mengalami peningkatan dibandingkan 2015. Diprediksi dampak bencana 2016 akan terus meningkat hingga akhir tahun nanti," kata dia, Jumat (2/9).
Sebaliknya musim 'kemarau basah' ini meningkatkan curah hujan dan berdampak positif menurunnya jumlah kebakaran hutan dan lahan, serta kekeringan. Daerah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera bagian Selatan dan sebagian Kalimantan yang biasanya kekeringan. Tapi kini intensitas kekeringan sangat kecil.
Selain itu, lahan pertanian yang puso juga akan berkurang. Termasuk tidak banyak masyarakat yang mengalami kekeringan dan krisis air. Kecuali mereka yang berada di daerah endemik kekeringan karena faktor geologis dan hidrometeorologis.
BMKG memperkirakan musim 'kemarau basah' akan berlangsung sampai dengan September di sebagian besar wilayah Indonesia. Pulau Jawa, Sulawesi bagian timur, Papua bagian tengah dan Kalimantan serta Sumatera bagian selatan diprediksi akan mengelamai kenaikan curah hujan hingga 200 persen.
Masyarakat pun diminta untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaannya dari ancaman banjir dan longsor terkait adanya peningkatan curah hujan.