REPUBLIKA.CO.ID, PERTH -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise membahas berbagai masalah terkait perdagangan manusia. Pembahasan dilakukan saat Yohana bertemu dengan masyarakat Indonesia di Perth, Senin (29/8) malam.
Menurut Yohana, pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam salah satu langkah menekan perdagangan manusia menerapkan kebijakan moratorium pengiriman perempuan Indonesia sebagai pembantu rumah tangga ke negara Timur Tengah. "Coba memaksimalkan di Indonesia saja untuk bekerja di sektor domestik," katanya.
Ia menegaskan bahwa fokus pemerintah ialah ke jenis pekerjaan formal, bukan informal untuk pengiriman tenaga kerja perempuan ke luar negeri. "Pada saat ini sedang dicari cara tepat, sehingga perempuan Indonesia bisa terampil dan maju," tambah perempuan pertama menteri dari Papua itu.
Selaku Ketua Harian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Yohana mengatakan merasa sangat miris karena banyak perempuan Indonesia, yang ke luar negeri secara gelap, berakhir dipekerjakan di kebun. Tak sedikit pula yang disiksa oleh majikan dan terlunta-lunta karena pendidikan rendah serta benturan budaya.
Untuk meredam praktik TPPO, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menggalang tokoh-tokoh agama, LSM, dan keluarga yang memiliki anak perempuan agar tidak membiarkan perempuan--terutama yang di bawah umur--untuk pergi secara ilegal ke negeri orang. Kasus terbaru di mana sebanyak 29 orang perempuan di bawah umur asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berhasil dibawa kembali dari "jeratan" jaringan perdagangan manusia, kata Yonana, menunjukkan bahwa ada calo mafia yang harus diberantas.
"Kepala desa bermain, sehingga di dokumen-dokumen Kartu Keluarga dan KTP usia yang aslinya masih di bawah 18 tahun diubah menjadi 21 atau 25 tahun. Ini adalah pelanggaran Undang-undang TPPO," kata menteri yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris tersebut.