Jumat 26 Aug 2016 09:07 WIB

Penjaga Kebun dan Pilkada Jakarta

Red: M Akbar
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (kiri) dan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (kanan).
Foto:

Kecelakaan Jokowi yang mencederai amanah dua kali, dengan meninggalkan amanahnya di Solo dan Jakarta. Lalu, meninggalkan warisan kekuasaan kepada pemimpin impor untuk ibu kota. Naif, kita digiring untuk terbiasa terhadap pengkhianatan amanah dan sumpah jabatan di bawah kitab suci. Lantas, masih berharap kemakmuran atau kesuksesan dari hasil kepemimpinan itu? Rasanya hanya sebuah mimpi dan ilusi!

Kita nyaris kehilangan identitas diri yang menjunjung tinggi budaya ketimuran. Gotong royong, tepo seliro, santun, beradab, amanah, jujur, saling asah, asuh, asih, dan nilai-nilai luhur lainnya. Wabil khusus bagi warga Jakarta yang mayoritas muslim dan pribumi, terus saja digiring untuk menuju kekalahan telak dalam permainan standar ganda: HAM, Sara, yang berdampak hilangnya warisan leluhur.

Masyarakat Indonesia, di pelbagai daerah dipaksa menerima pemimpin hasil pilihan: parpol, media massa dan lembaga survei bayaran. Tetapi, dikemas dengan diksi pesta rakyat, pilihan rakyat, serta hal-hal berbau rakyat. Ketika pemimpin itu gagal, rakyat sendiri saling menyalahkan. Sungguh, potret sosial ini menjadi bahaya laten di masa depan.

Saya teringat saat jelang Pilgub Jakarta 2012. Dari balik seluler, Sekjen MIUMI, Ustadz Bachtiar Nashir, mewanti-wanti. Pesannya,''Umat harus membuat early warning system. Sehabis DKI-1, Jokowi akan loncat lagi mengincar RI-1.'' Apa yang dikemukakannya, kini menjadi bukti.

Tetapi, peringatan ulama dulu tidak diindahkan masyarakat. Mereka memilih apa yan disajikan media. Melajulah Jokowi Ahok, dan benarlah: Jokowi loncat lagi. Kini, perhelatan politik Jakarta akan berulang tahun depan. Ulama kembali mewanti-wanti.

Namun ada yang beda tahun 2012 dan saat ini. Kalau dulu, ulama bertolak belakang dengan tokoh yang dijejali media, Jokowi Ahok. Kini, kenapa malah ikut media. Seperti kandidat Sandiaga Uno dan Risma. Saya terkejut membaca berita Detik, Rabu 24 Agusus 2016, judulnya: ''MPJ Temui Sandiaga, Beri Saran agar Jadi Cawagub untuk Risma''.

Di berita itu terpampang foto: Sandiaga dan Ustadz Bachtiar Nasir. Ustadz BN, begitu sapaannya, didapuk jadi Jubir Majelis Pelayanan Jakarta/MPJ. MPJ sendiri, pada Juni lalu, merekomendasikan tujuh figur kandidat Cagub DKI, yang nanti dikerucutkan menjadi satu nama.

Anehnya, kenapa MPJ yang juga kumpulan ulama, kenapa merekomendasikan nama-nama yang kini kerap disajikan media. Bukankah bangsa ini telah berpengalaman bagaimana jebakan parpol, media, dan survei bayaran menggiring opini massa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement