REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar gigitan ular dan toksikologi dari RSTP Dungus Madiun Dr dr Tri Maharani, M.Si SP.EM, mengatakan pemahaman mengenai penanganan gigitan ular berbisa sebagian besar masyarakat masih sering salah atau kurang tepat.
Ia mengatakan mengisap racun dari luka gigitan ular, menorehkan luka dengan pisau dan memberikan jamu bukan merupakan tindakan yang tepat dalam menangani korban gigitan ular berbisa. "Orang Indonesia tidak terbiasa setelah digigit ular ke pelayanan kesehatan, malah ke dukun. Kalau dilihat cara-cara tidak direkomendasikan, seperti mengeluarkan dengan diisap atau diikat," ujar dia di Jakarta, Kamis (25/8).
Korban, tutur Maharani, sebaiknya dibuat tenang dan tidak banyak bergerak agar bisa ular tidak cepat menyebar ke bagian tubuh lain.
Untuk ular yang racun bisanya menyerang saraf atau neurotoksin, seperti ular kobra, ular weling dan ular laut, penanganannya berbeda, yakni membebat daerah yang terkena gigitan dengan perban untuk membatasi penyebaran bisa. "Dengan penanganan awal yang benar bisa berdampak 60 persen keselamatan, lalu pelayanan kesehatan dengan dicek dan terapi untuk menggantikan peran antibodi berdampak menjadi 80 persen," kata Maharani.
Menurut dia, penanganan gigitan ular belum dianggap serius karena tidak ada data mengenai korbannya dan keterbatasan informasi mengenai ular berbisa. "Kejadian digigit ular tidak tercatat bagus. Puskesmas mengidentifikasi juga susah. Tenaga medis juga belum teredukasi mengenai ular yang menggigit korban," katanya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada 2008-2009 kasus gigitan ular di Indonesia hanya 180, padahal ia mencatat selama 2015-2016 hanya di Bondowoso saja terdapat 148 kasus gigitan ular. Untuk itu, ia mengimbau masyarakat waspada pada lingkungan sekitarnya dan tenang saat menemukan ular agar tidak memicu rasa terancam ular.