Selasa 23 Aug 2016 07:34 WIB

PKB: Isu Kenaikan Harga Rokok Resahkan Petani

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Bilal Ramadhan
Berhenti merokok (ilustrasi)
Foto: Boldsky
Berhenti merokok (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu kenaikan harga rokok hingga Rp 50 Ribu, membuat gerah Sekjen DPP PKB Abdul Kadir Karding yang terpilih dari Dapil VI Jawa Tengah yang kebanyakan petani tembakau.

Dia meminta Pemerintah segera memberikan klarifikasi. Sebab, akibat informasi kenaikan yang tidak jelas itu, para petani tembakau resah.

“Isu kenaikan harga rokok, menyebabkan petani tembakau resah, para petani sampai menduga isu ini adalah skenario untuk membuka kran impor tembakau yang lebih murah,” kata Karding, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/08).

Karding yakin, informasi terkait kenaikan harga rokok Rp 50 Ribu, tidak sahih karena untuk menaikan harga, pemerintah punya mekanisme yang harus ditempuh. Harga rokok, berhubungan erat dengan cukai rokok, sesuai UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai.

“Setiap rencana kenaikan, harus didiskusikan dengan industri,” terangnya.

Namun, lanjut dia, bila pemerintah membiarkan isu harga rokok berlarut-larut, dapat mengganggu perekonomian. Berdasar catatannya, pada 2015 saja, sumbangan sektor pertembakauan dari cukai mencapai Rp 139,1 Triliun.

“Itu baru dari cukai, kalau plus pajak, setiap tahunnya bisa mencapai Rp 170 Triliun,” ujarnya.

Ia menghitung, orang yang bekerja dalam rangkaian produksi tembakau, industri kretek, cengkeh, dan perdagangannya bisa menyerap sekitar 30-35 juta tenaga kerja.Belum termasuk usaha lain yang bergerak karena tembakau, seperti advertising, jasa transportasi barang, pedagang kaki lima dan sektor informal yang menopang ekonomi Indonesia saat krisis.

Sebagai salah satu sumber pendapatan nasional yang strategis, siginifikan bagi penerimaan Negara dan menopang ekonomi rakyat, Karding menilai pemerintah sebaiknya tidak main-main atau mendiamkan saja isu kenaikan harga rokok yang disinyalir, dilemparkan oleh pihak-pihak anti tembakau yang ditunggangi oleh pihak asing yang ingin merebut potensi ekonomi tembakau lokal atau kretek.

Ia menegaskan, walau Indonesia tidak meratifikasi FCTC, dari sisi regulasi, pemerintah telah melakukan pengendalian untuk pengurangan dampak tembakau rokok yang dianggap buruk, melalui Undang-undang kesehatan, peraturan pemerintah, maupun peraturan daerahyang semuanya ditujukan untuk menjadikan tembakau lebih aman.

Untuk lebih memperjelas posisi industri, petani tembakau dan berbagai pihak lainnya yang berkepentingan dengan tembakau, baik dari aspek ekonomi maupun kesehatan hingga budaya, ia mendesak pemerintah untuk segera duduk bersama dengan DPR untuk mempercepat pembasan RUU Pertembakauan.

“Agar semuanya menjadi gamblang, pemerintah dan DPR perlu mempercepat pembahasan RUU pertembakuan dan segera mengesahkannya menjadi Undang-undang,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement