REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana meminta pemerintah tidak menjadikan kasus Arcandra Tahar sebagai pemicu diakomodasinya status dwikewarganegaraan melalui revisi Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan.
"Masalah Pak Arcandra Tahar jangan menjadi trigger untuk merevisi UU Kewarganegaraan, apalagi untuk mengakomodasi masalah dwi kewarganegaraan," ujar Hikmahanto dalam diskusi publik bertema 'Warga tanpa Negara' yang diselenggarakan lembaga penelitian PARA Syndicate di Jakarta, Jumat.
Arcandra Tahar adalah orang yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, namun setelah 20 hari menjabat diberhentikan secara hormat, karena yang bersangkutan disebut-sebut berstatus dwikewarganegaraan Indonesia-Amerika Serikat.
Seiring mencuatnya kasus Arcandra, berkembang isu pemerintah akan memperbolehkan seseorang memiliki status dwikewarganegaraan. Bagi Hikmahanto, status dwikewarganegaraan sebaiknya hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki kerumitan status kewarganegaraan, misalnya orang yang melakukan perkawinan campur atau beda negara, serta anak-anak Indonesia yang lahir di luar negeri.
Sedangkan untuk diaspora atau warga Indonesia yang telah menjadi warga negara asing, harus mengikuti prosedur perundang-undangan yang berlaku guna mendapatkan kewarganegaraan Indonesianya kembali.
Menurut Hikmahanto, sesuai undang-undang, untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, seseorang harus bermukim selama lima tahun di Indonesia berturut-turut, atau bermukim selama 10 tahun di Indonesia secara tidak berturut-turut, atau diberikan status kewarganegaraan Indonesia oleh pemerintah karena yang bersangkutan dianggap telah memiliki prestasi bagi Indonesia.
Dia menilai Arcandra harus menjalankan persyaratan bermukim sekurangnya lima atau 10 tahun di Indonesia jika ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia kembali. Arcandra tidak bisa diberikan langsung status WNI, karena meski dikatakan telah berhasil menghemat 15 miliar kasus Blok Masela, namun penghematan itu dipandang baru berupa potensi, belum dapat dikatakan sebuah prestasi.