Rabu 17 Aug 2016 06:44 WIB

Indonesiaku, Kemerdekaan Milik Siapa?

Red: M Akbar
Bendera Merah Putih raksasa berkibar di tugu Monas, Jakarta.

Ayahanda sendiri, usai lulus dari UGM, mengabdikan dirinya menjadi guru di STM Negeri 1 Jakarta, dikenal dengan Boedoet Poesat. Berkat kasih sayang dan rahmat Allah, beliau menghembuskan nafas terakhirnya saat sedang shalat Dzuhur, tahun 2003 lalu. Allahumaghfirlahu warhamhhu.

 

Walau beliau tiada, tapi kisah dan pesannya selalu menghujam sanubari dan ingatan. Hal yang sering ditekankan: lakukan apapun karena ridha Allah, utamakan orang lain, perbanyak tirakat, dan dzikir.

Seperti yang dilakukan Sahabat Rasulullah saat sakaratul maut, namun masih mementingkan Sahabat lain sampai ketiganya menemui mati syahid di Perang Yarmuk. Mereka adalah Al Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr.

Atau seperti Eyang Zarkasyi dan Eyang Sahal, yang saling berbuat itsar atau mengutamakan kepentingan orang lain. Mereka saling mendorong untuk pergi menghindari PKI. Namun, keduanya berkukuh saling mendahului orang lain dan membela santri serta pesantren Gontor. Mereka tak peduli nasibnya sendiri.

Hari-hari seperti ini kita seperti dahaga kisah Sahabat, ulama, pahlawan, leluhur, dan pejuang-pejuang bangsa Indonesia. Beberapa tahun ke belakang, kita telah kehilangan identitas sebagai bangsa ramah, santun, tepo seliro, mementingkan orang lain, berbudaya malu, dan hilang nilai warisan leluhur lainnya.

Kita lupa bagaimana perjuangan dan pengorbanan pejuang meraih kemerdekaan bangsa ini. Kita lalai mempelajarinya. Malas mempraktikkan warisan nilai-nilai luhur mereka. Kita seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Atau mungkin kita tak tahu lagi, siapa kita?

Yah, kita seperti tak mengetahui diri dan dari mana berasal. Entah berapa banyak veteran yang sekarang nasibnya sangat mengenaskan. Lalu, bagaimana dengan pejuang lain yang tidak terdata. Padahal, apa yang kita rasakan saat ini buah dari pengorbanan dan perjuangan mereka. Kemana adab kita?

Saban Hari Kemerdekaan sekadar diisi aneka lomba dan seremoni upacara. Tetapi, lalai mempraktikkan warisan nilai-nilai luhur yang diajarkan nenek moyang kita. Sebaliknya, kondisi negeri membuat masygul.

Badan Pusat Statistik mencatat kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi 28,51 juta orang pada September 2015 atau bertambah 780 ribu orang dibanding September 2014 sebesar 27,73 juta orang. Indeks keparahan kemiskinan daerah perdesaan ikut meningkat dari 0,71 menjadi 0,79.

Data Susenas menyebut, tahun 2009, jumlah orang miskin dan rentan miskin mencakup paling tidak 40 persen dari total populasi Indonesia saat itu. Ini berarti 4 dari 10 orang Indonesia tergolong miskin atau rentan miskin. Angka rasio Gini di Indonesia cenderung meningkat sejak awal 2000.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement