Selasa 16 Aug 2016 08:16 WIB

Hilangnya Nilai dan Kesakralan di Indonesia

Ilham Tirta
Foto:

Dalam menjaga bahasa, Indonesia juga terancam gagal. Bahasa kita pun tidak lagi indah. Muncul berbagai istilah baru untuk menampung makna yang lebih keras. Sopan santun dan saling merhargai dalam dialek atau bahasa lisan lambat laun hilang oleh bahasa gadget atau tulisan pesan singkat.

Di media sosial, semua orang ingin menjadi sesuatu, semua orang merasa setara. Sekat umur dan keilmuan seakan hilang begitu saja oleh kesepakatan entah oleh siapa. Tak pandang Anda seorang profesor, tak pandang Anda seorang guru besar, jika Anda punya ulasan, Anda pantas dibantah oleh yang tak pernah sekolah sekalipun.

Bahkan, Bahasa Indonesia semakin kabur oleh munculnya bahasa gaul dan bahasa asing yang sangat kontras. Sebut saja nama-nama bangunan di Jakarta, maka akan ditemukan berbagai nama dalam bahasa asing. Bahkan, Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta yang baru saja diresmikan hampir bernama resmi Terminal 3 Ultimate jika tidak ditegur Badan Bahasa Kemendikbud. Padahal, bahasa adalah media politik karena siapa yang menguasainya akan mampu menguasai dunia.

Semakin menyedihkan ketika pemerintah menolak aturan wajib berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing. Padahal, kewajiban ini menyangkut kedaulatan berbahasa Indonesia. Haruskah orang Indonesia yang menyesuaikan diri dengan pemukim asing? Indonesia telah menjual kedaulatannya dengan harga nol.

Malaysia mungkin bisa menjadi contoh buruk, di mana warga Cina masuk negara itu tanpa harus berbahasa melayu. Akhirnya, pemukim asing tersebut hanya bergaul dengan komunitasnya, hingga sekolah bagi anak-anak mereka pun tidak memakai bahasa melayu.

Bisa dipastikan, nantinya akan muncul sekolah di Indonesia di mana bahasa Indonesia tak dianggap. Kita seharusnya sadar, salah satu cara menguasai sebuah bangsa adalah dengan mendirikan bangsa kecil dalam bangsa tersebut. Setidaknya, ini teori gerakan Zionis Israel yang saya pahami. Sederhana, tapi begitu efektif.

Lalu muncul kasus yang beberapa hari ini menyita perhatian. Menteri ESDM, Arcandra Tahar disebut berkewarganegaraan Amerika Serikat. Polemik ini berujung pada pencopotan Arcandra sebagai menteri yang diumumkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Kantor Presiden, Senin (15/8) malam.

"Setelah memperoleh informasi dari berbagai sumber, Presiden memutuskan memberhentikan dengan hormat Arcandra Tahar dari posisi Menteri ESDM," kata Pratikno.

Meski begitu, kasus seorang berkewarganegaraan asing yang dijadikan menteri telah memicu kontroversi yang cukup panas. Sebab, itu sama saja dengan Indonesia menyerahkan kendali sumber daya alam (SDM) Indonesia kepada warga asing. Ini menjadi mengerikan jika kita mengutip perkataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang menyatakan pada 2043, Indonesia dan negara ASEAN lainnya akan menjadi negara target perang ekonomi, khususnya perebutan energi. Di zaman tersebut, Indonesia masih memiliki cadangan sumber energi yang menggiurkan bagi negara-negara lain.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana bisa seorang presiden tidak teliti ketika menentukan seorang menteri? Masalah kemudian bukan pada Arcandra yang hanya menjabat menteri 20 hari, tapi ketidak hati-hatian Jokowi menempatkan orang dalam posisi yang sangat strategis. Apalagi, peran seorang menteri ESDM saat ini tidaklah remeh-temeh, tapi bagaimana membuat Indonesia berdaulat atas Migas dan energi yang masih banyak dikuasai oleh korporatokrasi asing. Kementerian ESDM harus dipegang oleh orang yang telah selesai dengan kepentingan dirinya sendiri dan merdeka dari kepentingan asing.

Harus diakui, saat ini Indonesia kehilangan patron, figur seorang pemimpin yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Bukan aksi jual beli yang diperagakan para politikus dengan menamakan dinamisnya politik.

Politikus Indonesia saat ini mulai gemar melakukan hal-hal yang memalukan tanpa merasa bersalah. Hari ini berkata demikian, dan besok direvisi, lalu dengan enteng mengatakan 'politik itu dinamis.' Seakan-akan dinamisnya politik menjadi pembenaran mengumbar kebohongan. Padahal, politik tidak semunafik itu. 

Saya menduga, semua permasalahan di atas adalah akumulasi dari kebobrokan yang terjadi secara terus menerus di negeri ini. Indonesia pernah dipimpin oleh seorang yang sangat kuat, negeri ini juga pernah dipimpin oleh seorang yang sangat pintar. Namun, ke depan Indonesia butuh figur pemimpin yang kuat dan cerdas, yang memegang teguh nilai-nilai keindonesiaan.

Semua cela di atas harus bisa menjadikan bangsa ini besar karena pengalamannya. Tidak semua kesalahan harus dicarikan sanksinya dengan membentuk aturan baru. Lebih dari itu, anak-anak Indonesia membutuhkan seorang ayah yang pantas mereka contohi, teman dan masyarakat yang pantas mereka ikuti, seorang bangsawan yang pantas mereka teladani, dan seorang pemimpin yang pantas mereka patuhi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement