Ahad 14 Aug 2016 10:28 WIB

ICJR Nilai Penghapusan Justice Collaborator Salah Sasaran

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Koruptor (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Koruptor (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menilai janggal alasan pemerintah yang akan menghapus justice collaborator sebagai salah satu syarat remisi untuk narapidana kejahatan luar biasa.

Diketahui dalam draft revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tidak lagi mencantumkan JC sebagai syarat napi mendapat remisi, termasuk diantaranya para koruptor.

"Kita menemukan yang janggal terkait penghapusan JC ini, kami tekankan tidak ditemukan alasan kenapa JC ini harus dihilangkan. Karena korupsi ini kejahatan yang berbahaya dan sistemik dan tidak ada alasan mempermudah mereka," kata Erasmus di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (13/8).

Menurut Erasmus, sejumlah alasan sang diduga melatarbelakangi penghapusan JC tersebut sangat tidak beralasan. Pertama yakni, adanya dugaan jual beli JC oleh para napi koruptor.

 

Disebutkan Erasmus, salah satu alasan dihilangkan JC karena persoalan mengenai kesulitas mengakses status JC, sehingga kemungkinan besar ia tidak akan mendapat remisi.

"Kesulitan dalam mengakses tersebut dicurigai munculnya sertifikat JC yang dikeluarkan secara sepihak tanpa prosedur dan syarat yang benar," katanya.

Lantaran itu kata dia, perlu penelusuran mendalam terkait kecurigaan tersebut. Menurutnya, pihak Kemenkumham perlu membuka diri perihal transparansi pemberian remisi.

"Kalau JC ini jadi lahan jual beli, kita minta Kemenkumham membuka semua napi korupsi yang dapat remisi, siapa-siapa saja, buka ke publik supaya yang dapat remisi dan alasan diberi remisi, agar tau apakah betul ada permainan JC didalam," ujar Erasmus.

Selain itu, penting juga mengkaji alasan penghapusan JC ini dikaitkan guna mengatasi over kapasitas di dalam lapas. Pasalnya, Erasmus menilai ada kecenderungan Pemerintah mengaitkan perubahan pengetatan remisi tersebut dengan situasi kepadatan Lapas. Ia pun mempertanyakan perihal alasan tersebut.

"Jika memang berencana mengurangi overkapasitas mengapa diarahkan kebijakan pemidanaan pada kejahatan korupsi, ini salah sasaran," kata dia.

Menurutnya, berdasarkan data di Dirjen Lapas jumlah warga binaan terbesar dalam Lapas salah satunya adalah narapidana yang menyandang status korban penyalahgunaan narkotika.

"Jumlah ini yag menjadi mayoritas penghuni lapas, sedangkan napi korupsi hanya sedikit, kenapa tidak sistem aturan soal penyalahgunaan narkotika ini yang dibenahi agar mereka bisa direhabilitasi, tidak dipenjara," kata dia.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement