Kamis 11 Aug 2016 16:16 WIB

Diminta Bayar Rusunawa, Warga Bukit Duri Tolak Diusir Pemprov

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Achmad Syalaby
 Warga Bukit Duri melihat lokasi kamar usai menerima penyerahan kunci Rumah Susun Sederahan Sewa (Rusunawa) Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur, Rabu (10/8).
Foto: Wihdan HIdayat/Republika
Warga Bukit Duri melihat lokasi kamar usai menerima penyerahan kunci Rumah Susun Sederahan Sewa (Rusunawa) Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur, Rabu (10/8).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Masyarakat Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, yang rumahnya menjadi sasaran penggusuran dalam program normalisasi Sungai Ciliwung terus berkeras menolak dipindahkan ke rumah susun (rusun). Mereka menilai kebijakan relokasi yang digulirkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memberi rasa keadilan terhadap warga.

Salah satu warga RT 06, RW 12, Bukit Duri, Suharti (36 tahun), mengatakan, pihak Kelurahan Bukit Duri beberapa waktu lalu sempat membagi-bagikan formulir pindah ke Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Rawa Bebek di Jakarta Timur kepada masyarakat setempat.

"Tapi keluarga saya enggak mau mengisi formulir itu karena dampaknya ternyata justru amat merugikan kami," ujar Suharti kepada Republika.co.id, Kamis (11/8). 

Ia menuturkan, warga yang mengisi formulir pindah ke rusun itu bakal kehilangan hak ganti rugi atas tanah dan rumah mereka yang digusur Pemprov DKI. Dia menjelaskan, salah satu poin kesepakatan di formulir tersebut menyatakan, rumah yang dihuni warga bersangkutan di Bukit Duri tidak diakui oleh pemerintah.

"Di samping itu, warga yang direlokasi ke rusun juga harus menandatangani perjanjian bahwa mereka tidak bisa menuntut ganti rugi atas rumah mereka yang digusur," ucap Suharti.

Ketua RT 06, RW 12, Bukit Duri, Mulyadi (43) mengatakan, warga yang bekerja sebagai pedagang asongan, buruh lepas, atau tidak punya pekerjaan tidak bisa mengisi formulir pindah ke rusunawa. Sebab, mereka tidak punya tanda bukti gaji dan tidak memiliki penghasilan tetap untuk membayar kontrakan di rusunawa.

"Sementara, salah satu syarat warga yang bisa pindah ke rusun itu harus punya slip gaji dan surat keterangan dari atasan langsung tempat kerja. Syarat semacam ini jelas tidak adil karena mayoritas warga di sini enggak punya slip gaji," kata Mulyadi.

Syarat lainnya, warga yang akan direlokasi juga harus membuka rekening di Bank DKI dan menyetorkan uang sewa rusun untuk tiga bulan pertama sebesar Rp 900 ribu. Selanjutnya, mereka akan diminta menandatangani sewa di rusun yang masa kontraknya hanya berlaku maksimal dua tahun.

Isi perjanjian kontrak itu, antara lain, mereka akan diusir dari rusun jika selama tiga bulan berturut-turut tidak bisa membayar sewa. Di samping itu, penghuni dilarang berjualan di rusun dan menyewakan rusunnya kepada orang lain.

Setiap bulan, penghuni bakal dikenakan sejumlah beban pengeluaran. Di antaranya berupa uang sewa rusun sebesar Rp 300 ribu untuk penghuni yang tinggal di lantai dua ke atas, dan sebesar Rp Rp 350 ribu untuk penghuni lantai satu. Ada lagi uang air yang jumlahnya berkisar Rp 150 ribu-Rp 200 ribu, serta uang listrik sebesar Rp 150 ribu-Rp 200 ribu. 

"Jika kami dipindahkan ke rusun, uang yang harus kami keluarkan rata-rata mencapai Rp 600 ribu hingga Rp 700 ribu per bulan. Itu belum termasuk belanja dapur. Padahal selama tinggal di rumah sendiri di sini, pengeluaran kami rata-rata hanya Rp 400 ribu-Rp 500 ribu setiap bulan," tutur Mulyadi.

Karena syarat-syarat yang dinilai tak adil itulah, kata dia, mayoritas warga Bukit Duri menolak digusur dan direlokasi ke rusun. "Bahkan, di RT saya, tidak ada satu pun warga yang mau mengisi formulir itu," ungkap ayah tiga anak itu lagi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement