REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pilkada Aceh 2017 akan diwarnai pertarungan antara calon gubernur independen dengan calon gubernur yang diusung partai politik. Sejak Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh membuka tahapan pilkada pada Selasa (2/8) lalu, sejumlah pasangan bakal calon gubernur telah mendaftarkan diri.
Ada tiga pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Aceh yang menempuh jalur independen. Bakal calon gubernur dan wakil gubernur Aceh yang diusung parpol juga tercatat ada tiga pasangan.
Mereka yang menempuh jalur independen adalah Zakaria Saman dan Teuku Alaidinsyah, Abdullah Puteh dan Sayed Mustafa Usab, dan Zaini Abdullah dan Nazaruddin. Duet Zakaria Saman dan Teuku Alaidinsyah mendaftarkan diri pada Rabu (3/8) dengan dengan membawa truk untuk mengangkut 94 kardus fotokopi KTP dukungan. Zakaria yang akrab dipanggil Apa Karya memilih jalur independen dengan dukungan 154.736 lembar salinan KTP.
Jumat (5/8), pasangan Abdullah Puteh dan Sayed Mustafa Usab memimpin pawai becak motor ke KIP, menyerahkan 188.459 dukungan KTP. Sedangkan, pasangan Zaini Abdullah dan Nazaruddin mendaftarkan diri pada Ahad (7/8), dengan membawa dukungan KTP sebanyak 201.150 lembar. Duet yang memiliki tagline AZAN ini mengerahkan sebuah truk trado atau trailer. KIP mensyaratkan calon independen harus mengumpulkan dukungan sebanyak 153.045 lembarnfotokopi KTP.
Sementara, kandidat gubernur Aceh lainnya yang menggunakan kendaraan partai politik adalaha pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah yang didukung Demokrat, PKB, Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Damai Aceh (PDA). Dua kandidat lainnya adalah pasangan Muzakir Manaf (Mualem) dan TA Khalid yang didukung Gerindra dan PKS, serta Tarmizi Karim dan Zaini Djalil yang diusung oleh Nasdem.
Aktivis antikorusi Aceh Akhiruddin Mahjuddin menilai skema perkawinan antara partai lokal dengan partai nasional tampaknya hendak meniru Pilkada 2012 lalu. "Waktu itu pasangan Zaini Abdullah dan Mualem yang didukung Partai Aceh dan Gerindra dengan telak mengalahkan calon independen Irwandi Yusuf," ujar pendiri Gerak Aceh itu dalam keterangan tertulisnya Rabu (10/8).
Sebelumnya, kata dia, pada Pilkada 2006, pertama kali setelah disahkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Irwandi menang mutlak dari jalur independen. "Pertanyaannya sekarang, apakah skema perkawinan politik semacam itu masih relevan dalam konteks Pilkada Aceh 2017?" ungkap Akhiruddin.
Menurut Akhiruddin, mesin partai politik masih dianggap memiliki sumber dana dan sumber daya untuk dapat menang dengan mudah. Akibatnya, kata dia, para calon gubernur ini bertindak layaknya kaki tangan partai-partai.
"Lebih-lebih mereka pun memilih jalan aman dengan mengemis dukungan dari partai nasional. Jauh dari wajah elok politik Aceh pasca-perdamaian Helsinki, ketika kehendak rakyat untuk memilih pemimpin independen sangat kuat," cetus Akhiruddin.