REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Istijab Danunagoro mengatakan okupansi hotel bintang di DIY rata-rata hanya 55 persen dan non bintang 30 persen. Rendahnya okupansi hotel diantarnaya lantaran semakin banyak hotel yang berdiri di Yogyakarta.
"Karena itu kami minta agar moratorium hotel di Yogyakarta yang akan berakhir 2016 ini diperpanjang sampai 2021 supaya sama dengan di Sleman," kata Istijab pada wartawan di Kepatihan Yogyakarta, Selasa (9/8).
Menurut dia, kebanyakan hotel bintang di DIY didirikan oleh hotel-hotel yang berjejaring seperti Santika dan Accor. Mereka berasal dari Jakarta dan Sumatera.
"Saya sudah minta kepada wali kota Yogyakarta agar moratorium hotel di DIY diperpanjang sampai 2021. Wali kota (Haryadi Suyuti,red) mengatakan asal okupansi hotel masih di bawah 70 persen akan dilakukan perpanjangan moratorium,’’tuturnya.
Kepala Dinas Pariwisata DIY Aris Riyanta mengatakan, kebijakan memperpanjang moratorium itu kewenangan kepala daerah masing-masing. Menurut dia, ada pertimbangan faktual yang lebih baik jika moratorium diperpanjang.
Di tempat terpisah, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan izin mendirikan hotel merupakan kewengan di Pemerintah Pusat. Sedangkan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) berkewenangan memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Gangguan (HO).
"Jadi pengertian dilakukan moratorium itu tidak memberikan izin IMB maupun HO. Saya memang punya harapan IMB dan HO untuk hotel tidak diberikan sekarang. Karena sudah terlalu banyak. Yang moratorium hotel kan hanya di Sleman dan Kota Yogyakarta. Sehingga masih bisa membangun hotel di Kabupaten Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul, tetapi ini tergantung investornya mau atau tidak," kata Sultan.