Senin 08 Aug 2016 10:12 WIB

Pengamat: Nasib Ahok di Pilkada Jakarta dalam 'Genggaman' Parpol

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
Foto: Foto : Mgrol_76
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Survei Lintas Nusantara, Emrus Sihombing menilai posisi tawar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melewan dan berada dalam 'genggaman' partai politik, setelah ahok memastikan diri maju sebagai calon pejawat di Pilkada DKI Jakarta melalui jalur Parpol.

Emrus menjelaskan, posisi tawar Ahok sebelumnya melejit dan berada di atas, setelah calon pejawat itu mengumumkan jika relawan pendukungnya berhasil mendapatkan satu juta KTP sebagai syarat dirinya maju sebagai calon independen. Hal itu terbukti dengan adanya tiga Parpol yang langsung 'melamar' Ahok.

"Pada saat itu, bahkan sampai ada partai mendeklarasikan dan memposisikan diri hanya sebagai pendukung, bukan pengusung. Padahal, sejatinya partai itu berfungsi sebagai pengusung," katanya, Senin (8/8).

Tetapi setelah dipastikan Ahok tak maju melalui jalur independen, karena tak mendaftar pada hari terakhir masa pendaftaran jalur perseorang di KPU, maka posisi tawar Ahok melemah. Cagub pejawat itu pun kini berada "digenggaman tangan" Parpol pengusungnya.

"Realitas politik tersebut, suka tidak suka membuat posisi tawar pejawat turun sedangkan posisi tawar partai politik naik melejit. Perlu diingat, sekalipun tampaknya sudah ada tiga partai mengusungnya, sampai saat ini belum dapat dipastikan pejawat menjadi Cagub sebelum didaftarkan ke KPU DKI Jakarta, sebagai bakal calon gubernur," jelasnya.

Sebab menurut dia, perubahan peta politik, termasuk partai yang akan mengusungnya, sangat-sangat cair. "Secair pejawat mengabaikan sejuta KTP dukungan," katanya.

Karena itu, dinamika transaksi komunikasi politik pejawat dengan tiga kemungkinan partai pengusung sangat menentukan, apakah pejawat jadi Cagub atau berhenti di tengah jalan.

Dalam suatu proses komunikasi politik dipastikan terbentuk kesepakatan-kesepakatan politik. Dalam membangun kesepakatan tersebut tak terhindarkan terjadi transaksi kepentingan politik antar sesama partai pengusung dan antarpartai dengan calon pejawat. Seperti dalam menentukan siapa Cawagub Ahok.

"Mengapa? Sebab, pejawat sudah tidak punya posisi tawar yang kuat mempertahankan calon pasangannya tersebut. Bahkan partai punya power sharing menyodorkan kader mereka menjadi calon wakil gubernur," jelasnya.

Rendahnnya posisi tawar tersebut pasti berdampak pada semua bidang kepentingan politik, termasuk visi politik pejawat terhadap kepentingan partai pengusung.

"Singkatnya, ketika pejawat tidak menyerahkan syarat dukungan hingga kemarin, Minggu, tanggal 7 Agustus 2016, jam 16.00, posisi tawar pejawat "terjun bebas" dalam proses komunikasi politik dengan kemungkinan tiga partai pengusung," jelasnya lagi.

Selain itu, posisi masing-masing tiga partai untuk mengusung pejawat, relatif sama menjadikan dirinya Cagub. Artinya, jika salah satu Parpol menarik dukungan, Ahok bisa gagal untuk kembali maju. Karena itu, pejawat memerlukan "energi" politik yang luar biasa menjalin komunikasi politik untuk mempertemukan berbagai kepentingan politik dari ketiga partai tersebut.

"Terus terang, ini bukan pekerjaan gampang bagi pejawat. Jika ingin pasti dicalonkan oleh partai, pejawat membutuhkan tenaga, waktu, pikiran dan termasuk logistik politik untuk melakukan pendekatan dengan kemungkinan tiga partai pengusung," jelasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement