Ahad 07 Aug 2016 07:02 WIB

Polemik Azan dan Standar Ganda untuk Islam di Indonesia

Red: M Akbar
Suasana Vihara Tri Ratna pascakerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatra Utara, Sabtu (30/7).
Foto:

Puncaknya, saat Bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah“, seisi Kota Madinah pecah dengan ledak tangis dan ratapan pilu, teringat Rasulullah di masa lalu. Tangisan Khalifah Umar bin Khattab terdengar paling keras.

Bahkan Bilal yang mengumandangkan adzan tersedu-sedu dalam tangis, hatinya teriiris, lidahnya tercekat, air matanya tak henti mengalir. Bilal pun tidak sanggup meneruskan adzannya, ia tak henti terisak, tak mampu lagi mengumandangkan melanjutkan panggilan mulia tersebut.

Hari itu, Madinah mengenang kembali masa saat Rasulullah masih ada. Hari itu, Bilal melantukan adzan pertama dan terakhirnya sejak kepergian Rasulullah. Adzan yang tak bisa dirampungkannya. Kisah ini tercatat dalam salah satu sejarah tinta emas Islam.

Dan hari-hari belakangan, di Indonesia, setelah seringnya kebijakan Islam diganggu, kini semakin banyak yang terusik dengan adzan. Sejarah dalam Republik Indonesia, sejak 71 tahun merdeka, baru di rezim ini adzan diusik-usik. La haula wala quwatta illa billah. 

Terbaru, Meliana warga Cina merasa terganggu dengan adzan. Meski sudah dimediasi dengan kekeluargaan, ia ngotot. Pecahlah kerusuhan. Ironinya, ia bebas. Hanya menjadi saksi. Sebaliknya, ada 19 tersangka yang semuanya Muslim. Ketidak adilan hukum menambah rentetan panjang kekecewaan Muslim pada rezim ini.

Muhammadiyah, melalui divisi Hukum dan HAM, melakukan pembelaan untuk melepaskan para tersangka dalam kerusuhan Tanjung Balai, itu. Penegakan hukum beraroma standar ganda, menegaskan ketidak adilan pada Muslim Indonesia. Publik pun mengaitkan Tanjung Balai dengan tragedi Tolikara. Pembakar masjid di Tolikara, diundang ke istana. Pembakar vihara, dijadikan tersangka.

Padahal, saat pembakaran masjid umat Muslim sedang ramai. Sedang merayakan Hari Raya. Sedang pembakara vihara, tidak ada yang beribadah di dalamnya. Naifnya, pembakaran Tolikara tidak ada umat Muslim yang menganggu. Mereka, di sana, tetiba diserang. Berbeda dengan Tanjung Balai. Begitu telanjang ketidak adilan hukum terhadap Muslim Indonesia. Jika dirinci lagi, pedih rasanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement