Kamis 04 Aug 2016 23:45 WIB

Pengamat: SP3 Kasus Kebakaran Hutan Jangan Dipolitisasi

Sejumlah pengendara melintas di jalan yang dipenenuhi kabut asap kebakaran hutan dan lahan di Pekanbaru, Riau, Rabu (30/9).
Foto: Antara/Rony Muharrman
Sejumlah pengendara melintas di jalan yang dipenenuhi kabut asap kebakaran hutan dan lahan di Pekanbaru, Riau, Rabu (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum lingkungan Daud Silalahi meminta agar semua pihak tidak mempolitisasi serta berbicara tak sesuai kompetensinya terhadap penerbitan SP3 15 perusahaan yang disangka melakukan pembakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau Juli 2015.

"Saat ini, terlalu banyak campur tangan politik serta komentar pihak-pihak tidak berwenang atau berkomentar di luar kewenangannya," kata Pengamat hukum lingkungan Univeristas Pajajaran (Unpad) Daud Silalahi di Jakarta, Kamis (4/8).

Menurut dia, kebijakan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) merupakan ranah kepolisian yang punya kewenangan penuh untuk melakukan penyidikan kasus ini dan menghentikannya, karena bisa saja hasilnya penyidikan tidak sempurna, tetapi nantinya bisa dibuktikan di pengadilan.

"Kalaupun ada kekeliruan atau kesalahan penyidikan, ada komisi judicial, Mahkamah Agung, kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung yang mempunyai kompetensi untuk menilai. Karena itu, pihak lain tidak perlu mempolitisir sebab hanya memperkeruh masalah," katanya.

Daud menilai, terlalu banyaknya komentar, bahkan tidak sedikit yang berkomentar di luar bidangnya, menimbulkan kebingungan masyarakat dan citra buruk dunia usaha bahkan komentar itu juga menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak berwibawa.

"Kalau perusahaan bersalah, sudah ada sanksi administratif yang mengatur. Karena itu, tidak perlu semua pihak berkomentar, apalagi berkomentar di luar kompetensinya," katanya.

Daud juga menyayangkan cara-cara berkomunikasi Kementerian LHK dan DPR dalam kasus SP3 tersebut yang dinilai terlalu politis dan populis agar masyarakat punya perhatian serta ikut terlibat melakukan penekanan (community pressure).

"Ini sangat berbahaya. Sikap seperti ini merugikan perusahaan. Mereka merasa diadu. Padahal perusahaan ada untuk membantu masyarakat," katanya.

Daud mengingatkan, komentar DPR sebaiknya dalam kapasitasnya untuk menjalankan fungsi pengawasan dan tidak perlu masuk ranah hukum. Dia menambahkan, cara-cara komunikasi politis seperti itu tidak hanya terjadi pada kasus SP3 pada 15 perusahaan, namun juga terlihat pada berbagai kasus seperti reklamasi pantai Jakarta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement