REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian memerintahkan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli untuk menemui aktivis KontraS Haris Azhar.
Hal ini untuk mengkonfirmasi kebenaran perihal tulisan Haris Azhar yang menceritakan pengakuan salah satu terpidana mati Freddy Budiman kepada Haris beberapa waktu lalu.
"(untuk tahu) Informasinya tepatnya seperti apa. Karena kalau kita lihat yang beredar viral itu informasinya kan enggak jelas," ujarnya di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (29/7).
Ia sendiri mengaku telah membaca tulisan yang didalamnya berisi pengakuan Freddy yang pernah dimintai sejumlah pihak yakni dari petugas kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Namun kata Tito, pihaknya perlu menkonfimasi terlebih dahulu kebenaran informasi tersebut.
Ia juga tidak serta merta langsung menindaklanjutinya dengan menjadikan pengakuan tersebut sebagai alat bukti penyelidikan. Menurut dia, pihaknya akan mendalami informasi lebih detil jika pengakuan tersebut benar demikian.
"Ada nggak nama-nama yang jelas berikut buktinya kalau memang ada data lengkap akan kita follow up," ujarnya.
Lebih lanjut Tito mengatakan, jika dari pengakuan hanya berdasarkan apa yang tertera dalam tulisan tersebut, maka ada dua kemungkinan yang bisa diterjemahkan.
"Bisa saja terjadi kita akan dalami, tapi bisa saja jadi alasan yang bersangkutan untuk menunda eksekusi, supaya ramai jadi tunda eksekusi," ungkapnya.
Diketahui, pasca telah diekskusinya empat terpidana mati yakni Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus dan Humprey Ejike pada Jumat (29/7) dini hari, beredar tulisan pengakuan dari Haris Azhar terkait Freddy Budiman.
Dalam tulisan tersebut, diceritakan pengakuan sepak terjang Freddy Budiman selama menjadi bandar peredaran Narkoba. Namun yang menarik dalam cerita tersebut, Freddy memberikan pengakuan bahwa selama menyelundupkan Narkoba ke Indonesia, ia sudah menyetorkan uang sebesar Rp 450 miliar ke BNN dan Rp 90 miliar ke pejabat di Mabes Polri untuk memuluskan Narkoba di Indonesia.
Selain itu, pengakuan Freddy pernah ditawari untuk kabur dengan syarat menyerahkan sejumlah uang oleh para penegak hukum.