REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dinilai telah memunggungi nasib petani karena tidak melakukan perubahan pada Kementerian Pertanian. Wacana swasembada pun diragukan bisa terwujud.
''Dua tahun lebih pemerintah menjalankan pembangunan, namun sektor pertanian masih jauh dari harapan. Terutama pada aspek menyejahterakan petani sekaligus juga mewujudkan kedaulatan pangan,'' kata Koordinator Kedaulatan Rakyat Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, Kamis (28/7).
Said menilai momentum reshuffle ini seharusnya dapat dijadikan oleh Jokowi untuk melakukan evaluasi dan melihat ulang fakta yang ada di petani serta tujuan Nawacita kedaulatan pangan. Dia sangat menyayangkan Jokowi ternyata tidak memanfaatkan momentum ini.
Dengan sikap demikian, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah seolah tidak memahami esensi kedaulatan pangan. "Sekaligus juga menunjukan Jokowi-JK kembali memunggungi petani yang selama ini menjadi pendukungnya,'' ujarnya.
Said menilai hingga kini kesejahteraan terhadap para petani di negeri ini masih relatif berjalan stagnan. Ini terlihat dari data statistik nilai tukar petani (NTP) yang tidak berubah dari 2014 hingga 2016. Jika pada Desember 2014 NTP sebesar 101,32 maka pada maret 2016 masih tetap 101,32. Menurut dia, inilah bentuk nyata dari terjadinya stagnasi.
Padahal pada sisi anggaran, Said mengatakan, telah terjadi kenaikan yang luar biasa. Pada 2014, anggaran kementerian pertanian hanya Rp 16,9 triliun maka pada 2015 naik menjadi Rp 32,7 triliun dan tahun ini sebesar Rp 27,58 triliun.
Lalu mengenai wacana swasembada tiga komoditas yaitu jagung, kedelai dan beras ternyata masih menemukan kendala nyata dalam implementasinya. Hingga pertengahan 2016, kata dia, jalan terjal swasembada masih besar. Ini terlihat dari kisruh impor berbagai bahan pangan. Tahun 2015 kementerian pertanian menyatakan tidak akan impor karena sudah surplus.
''Tapi kenyataannya impor masih tetap dilakukan. Bawang merah pun demikian. Dinyatakan surplus namun impor jalan terus. Yang terakhir adalah meruaknya isu impor daging serta jeroan," kata Said.
Terkait dengan kedaulatan pangan, sejatinya pemerintah menempatkan petani sebagai subyek pembangunan. Petani yang sejahtera dan mulia merupakan tujuan utama karena kedaulatan pangan berkaitan dengan hak dasar petani.
Namun melihat program dan kebijakan pemerintah melalui kementerian, terlihat jelas orientasi pembangunan lebih diarahkan kepada peningkatan produksi, tanpa diimbangi upaya meningkatkan insentif yang diterima petani. Sayangnya itulah yang terjadi pada pemerintahan sekarang.