Kamis 28 Jul 2016 01:55 WIB

Penunjukan Wiranto Jadi Simbol Restrukturisasi Koalisi Partai Pendukung

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Dwi Murdaningsih
Menko Polhukam Wiranto
Foto: Antara/ Widodo S. Jusuf
Menko Polhukam Wiranto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam reshuffle kabinet kerja jilid II, Rabu (27/7), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto, sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Wiranto akan menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan, yang digeser menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim).

Menurut Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, selain faktor kapasitas dan pengalaman Wiranto, penunjukan mantan Panglima ABRI itu dinilai sebagai upaya Jokowi untuk melakukan rekstrukturisasi koalisi partai pendukung pemerintahan.

"Itu bagian dari restrukturisasi koalisi partai pendukung pemerintah. Karena dua menteri Hanura keluar dari kabinet, Hanura cuman satu. Tapi karena satu, maka kedudukannya harus Menko, karena itu menteri senior. Itu yang saya lihat," tutur Arsul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (27/7).

Tidak hanya itu, Arsul menyebut, dengan masuknya Wiranto di kabinet kerja, maka soliditas dukungan politik dari koalisi partai pendukung dengan Jokowi dianggap akan lebih mudah digalang. Hal ini tidak terlepas dari tingkat penerimaan (akseptabilitas) Wiranto di kalangan partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK.

"Saya kira tingkat akseptibilitas pak Wiranto di kalangan koalisi partai pendukung lebih tinggi dibanding dengan pak Luhut," kata anggota Komisi III DPR RI tersebut.

Terkait tantangan dan pekerjaan rumah yang akan dihadapi Wiranto sebahai Menko Polhukam, Arsul menilai, salah satu tugas utama Menko Polhulkam adalah mampu mengkoordinasikan semua Kementerian/Lembaga yang berada di bawahnya. Aspek koordinasi inilah yang harus mampu ditampilkan terutama pada saat gelaran Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang bakal digelar secara berbarengan pada 2019 mendatang.

''Itu kan (Pilpres dan Pileg secara berbarengan) perlu koordinasi lebih baik,  seperti Kemenkumhan dengan Kemendagri. Itu kan butuh sosok yang barangkali cool dan barangkali lebih akseptabel,'' kata Arsul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement