Selasa 26 Jul 2016 18:48 WIB

IDI Ingin Pemerintah Tunjuk Eksekutor Kebiri

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Esthi Maharani
 Ilustrasi hukuman kebiri
Foto: Ilustrasi : Nabiila Lubay
Ilustrasi hukuman kebiri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih meminta pemerintah menunjuk petugas eksekutor hukuman kebiri untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau perppu kebiri.

Hingga kini IDI masih menolak untuk menjadi eksekutor hukuman tersebut, karena terbentur oleh kode etik kedokteran. Menurut dia, para petugas eksekutor yang ditunjuk pun dapat dilatih untuk melaksanakan hukuman kebiri.

"Inikan hukuman, dokter secara etika tidak boleh menghukum, dokter bertugas mengobati. Jadi kalau sebagai eksekutor bukan pekerjaan dokter bertentangan dengan etika dokter. Silakan pemerintah menunjuk petugas eksekutor. Dokter itu profesi. Tunjuklah, petugas eksekutor, tidak usah dibenturkan," jelas Daeng Faqih saat dihubungi, Selasa (26/7).

Daeng Faqih mengatakan, peraturan dan hukum yang baik tidak boleh bertentangan dengan norma, termasuk norma profesi. Menurut dia, dokter memiliki etika dalam menjalankan tugasnya dan memberikan pelayanan medis. Ia menyebut hukuman kebiri bukanlah termasuk pelayanan medis yang harus diberikan oleh dokter. Bahkan, menurut dia, hukuman kebiri ini melanggar undang-undang praktek kedokteran.

"Dokter punya etika hanya boleh melakukan tindakan dalam rangka pelayanan medis. Ini bukan pelayanan medis. Melanggar UU praktek kedokteran. Tatanan moral dan bangsa rusak kalau gitu. Jangan dipertentangkan norma hukum dan moral dan etika," jelas dia.

Ia pun menyarankan agar pemerintah mencari cara pelaksanaan hukuman kebiri yang tidak melanggar norma moral dan etika. "Siapa yang bertanggung jawab dengan pemaksaaan ini (menjadi eksekutor kebiri)," kata Daeng Faqih.

IDI, kata dia, juga telah menyarankan kepada pemerintah untuk merehabilitasi para pelaku kekerasan seksual, bukan menghukumnya. Sehingga, dokter yang tergabung dalam IDI pun dapat membantu pemerintah merehabilitasi para pelaku.

"Kalau pertimbangan kesehatan, modulasinya bukan hukuman, tapi rehabilitasi. Kesehatan itu rehabilitasi. Kalau sudah hukuman itu tidak mempertimbangkan kesehatan...Kami sudah mengajurkan pemerintah bahwa ini bukan hukuman tapi rehabilitasi. Kalau dalam rangka rehabilitasi dokter bisa melakukan," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement