REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 50 keluarga peserta program transmigrasi di Poso, Sulawesi Tengah, hidup di atas tanah sengketa.
Salah satu transmigran, Arif Albes Korea menuturkan, sebagai peserta program transmigrasi umum, setiap keluarga harusnya mendapat lahan garapan seluas dua hektare. Namun, sudah setahun menjadi warga transmigran, Arif baru mendapat lahan seluas 1.500 meter persegi. Itupun, belakangan diketahui, merupakan tanah sengketa.
"Ada orang datang ke saya untuk bilang tanah itu sudah dia beli," tutur dia pada Republika.co.id, Ahad (24/7). Hal serupa juga terjadi pada puluhan keluarga transmigran lain yang pindah ke Poso dengan harapan mendapat kehidupan lebih baik.
Tak hanya itu, Arif juga merasa telah dibohongi pemerintah karena semua fasilitas yang dijanjikan telah ada di kampung transmigrasi nyatanya tak terbukti. Sebelum berangkat ke Poso dari Surabaya, dia menuturkan, Dinas Transmigrasi provinsi setempat menyebut fasilitas air bersih, sekolah, rumah sakit serta lahan garapan yang subur telah disiapkan untuk transmigran. Namun, setibanya di Desa Kancu, Kecamatan Pamona Timur, Poso, ia menemui kenyataan yang berbeda.
"Ternyata semuanya tak ada," kata pria 50 tahun kelahiran Timor-Portugis (sekarang menjadi bagian dari Timor Leste) tersebut.
Meski kenyataan pahit yang ditemui, dia tetap memilih bertahan di Poso. Saat pertama memulai babak baru kehidupan di Poso pada Agustus 2015, Arif beserta istri dan tiga anaknya terpaksa mengkonsumsi air sawah. Agar tetap dapat melanjutkan hidup, ia mulai mengolah tanah garapan dengan bertani jagung. Untuk mengairi kebun, Arif dan warga transmigran lain bergotong-royong menyambung pipa sepanjang tujuh kilometer dari sumber air secara swadaya.