Sabtu 23 Jul 2016 10:01 WIB

Ini Plus Minus Pemilu dengan Sistem Proposional Tertutup

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Bayu Hermawan
Pemilu (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Pemilu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdebatan apakah Pemilu mendatang sebaiknya menggunakan sistem proposional terbuka atau tertutup kembali mengemuka, seiring dengan diajukannya revisi UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) oleh pemerintah.

Pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, wacana pemberlakuan kembali sistem proporsional tertutup pada Pemilu di Indonesia dikhawatirkan bakal memperkuat lagi sistem oligarki kepartaian dan menguatnya partai (struggle for power).

"Sistem semacam itu sering dianggap kembali ke model Pemilu semasa Orde Baru," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (23/7).

Pangi berpendapat, sistem proporsional tertutup memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya adalah mempersempit kanal partisipasi publik dalam Pemilu, serta menjauhkan ekses hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascaPemilu.

Proporsional tertutup, lanjut Pangi, membuat komunikasi politik tidak berjalan secara efektif. Tidak hanya itu, krisis calon anggota legislatif juga menjadi sulit dihindari karena sedikitnya yang berminat  dan serius maju menjadi Caleg.

Hal itu disebabkan siapa-siapa saja yang duduk di parlemen nantinya sudah bisa diprediksi sejak jauh-jauh hari lantaran keputusannya ditentukan oleh partai.

"Pada sistem proporsional tertutup, partai berkuasa penuh dan menjadi penentu siapa-siapa saja yang akan duduk di kursi parlemen, setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi," katanya.

Kendati demikian, kata Pangi, sistem Pemilu proporsional tertutup juga mempunyai beberapa keunggulan. Sistem ini dinilai mampu meminimalisasi politik uang karena biaya Pemilu yang lebih murah jika dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka.

Kelebihan lainnya, proporsional tertutup memastikan bahwa masyarakat cukup memilih partai dan biarlah partai yang akan mengirimkan kader-kader terbaiknya ke parlemen.

"Partai tahu betul siapa kader mereka yang punya kapasitas, integritas, serta narasi struktural dan kultural. Proporsional tertutup paling tidak mampu memompa wakil rakyat ke arah yang lebih baik," jelasnya.

Berkaca pada pelaksanaan dua Pemilu terakhir, kata dia, tidak sedikit kader  Parpol yang sudah berjuang dan bekerja keras membesarkan partai selama ini, justru tidak terpilih dalam pemilu legislatif.

"Deparpolisasi ilmiah pun menggeliat. Dengan modal uang dan popularitas, figur-figur yang masuk ke Parpol secara instan bisa terpilih tanpa harus bersusah payah menjadi pengurus partai," jelasnya.

Rancangan revisi UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) yang diajukan pemerintah memunculkan polemik klasik antara dua kutub yang saling berlawanan. Satu kelompok ingin mempertahankan sistem proporsional terbuka, sedangkan yang lainnya menghendaki kembalinya sistem proporsional tertutup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement