REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Unicef meluncurkan buku Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Kegiatan tersebut memanfaatkan data BPS untuk mengangkat isu perkawinan usia dini ke permukaan.
"Isu ini sangat kental dengan tujuan kelima Sustainable Development Goals (SDGs) yakni memberdayakan perempuan dan anak," ujar Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Gantjang Amanullah, Rabu (20/7).
Kepala Perwakilan Unicef di Indonesia Gunilla Olsson mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun, sekitar seribu anak perempuan menikah setiap hari di Indonesia. "Kita tahu bahwa mayoritas perkawinan usia anak terbesar di Asia Tenggara dan Pasifik terjadi di Indonesia. Kita juga tahu tren itu bisa dibalik dan jika kita berkomitmen bersama mengatasi masalah ini, kita bisa mempercepat kemajuan," kata Olsson.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah mengatakan, isu perkawinan anak adalah persoalan serius. BPS mencatat, persentase perempuan usia 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun di Indonesia relatif masih tinggi yakni di atas 20 persen. Penurunannya pun cenderung stagnan. Pada tahun 2015, persentase perempuan usia 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mencapai 23 persen. Angka tersebut menunjukkan penurunan tujuh persen dalam periode waktu tujuh tahun.
"Dengan adanya penurunan, sejatinya Indonesia masuk dalam fase kemajuan. Ada transformasi di sejumlah tempat tapi ada juga yang masih tertatih-tatih," kata Sairi.
Berdasarkan data BPS, terdapat indikasi perkawinan usia anak di hampir semua wilayah Indonesia. Provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak tertinggi pada 2015 adalah Sulawesi Barat yakni 34 persen. Kemudian diikuti Kalimantan Selatan sebesar 33,68 persen, Kalimantan Tengah sebesar 33,56 persen, Kalimantan Barat sebesar 32,21 persen, dan Sulawesi Tengah sebesar 31,91 persen. Ini artinya satu dari tiga anak perempuan di provinsi-provinsi tersebut menikah di bawah umur.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas Subandi mengaku, pemerintah akan terus berupaya menurunkan angka perkawinan usia anak di Indonesia. Beberapa di antaranya yakni dengan menegakkan wajib belajar 12 tahun dan mengentaskan kemiskinan.