REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan imigran dari berbagai negara seperti Afghanistan, Somalia, Myanmar, Iran, Irak, dan Mesir berkumpul di samping kantor The United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) untuk Indonesia di Jl Kebon Sirih Jakarta Pusat tiap paginya. Salah satu Warga Negara Asing (WNA) asal Iran bernama Musa yang saat itu sedang menemani kerabatnya mengurus penentuan status pengungsi (PSP-nya) menceritakan alasan kedatangan kerabatnya yang beragama Nasrani itu disebabkan orang-orang beragama Nasrani di Iran sebagai kaum minoritas tidak mendapatkan kebebasan beragama layaknya agama mayoritas di sana.
Pada hari Selasa (19/7) lalu, hampir seluruh pengungsi asing telantar dan tidak memiliki tempat tinggal itu hidup di jalanan menunggu kejelasan nasib mereka. Salah satu pengungsi asal Mesir terlihat sangat depresi dan menghindar ketika dihampiri untuk menggali informasi tentang keadaannya. Seorang pengungsi asal Somalia juga tampak emosi saat berbicara langsung dengan petugas keamanan kantor UNHCR.
UNHCR merupakan badan kemanusiaan yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membantu para pengungsi asing terlepas dari konflik yang terjadi di lingkungannya. Seperti mendapatkan keamanan, hak suaka, serta mendapat tempat yang aman di wilayah atau negara lain.
Dikutip dari laman UNHCR, Konvensi 1951 menjabarkan definisi imigran atau pengungsi asing yakni seseorang yang disebabkan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada di luar negara asalnya dan tidak menginginkan perlindungan dari negara tersebut.
Dalam laman UNHCR dijelaskan Penentuan Status Pengungsi (Refugee Status Determination/RSD) harus melalui beberapa prosedur. Yakni pendaftaran dan wawancara. Proses ini menghasilkan keputusan yang beralasan yang menentukan apakah permintaan status pengungsi seseorang diterima atau ditolak. Juga memberikan masing-masing individu sebuah kesempatan (satu kali) untuk meminta banding apabila permohonannya ditolak.
Proses tersebut menghabiskan waktu yang cukup lama hingga berbulan-bulan. Hal ini membuat para pengungsi asing yang telantar semakin menumpuk di pinggir jalan sekitar kantor UNHCR Jakarta Pusat.
Salah satu alasan mengapa para pengungsi asing tidak juga mendapat persetujuan UNHCR karena mereka melakukan kecurangan. Musa juga mengakui bahwa kebanyakan dari mereka memberikan pernyataan palsu tentang alasan untuk mendapatkan hak suaka sehingga proses yang dijalani panjang dan memakan waktu yang cukup lama.
Musa berharap pihak kelancaran proses penentuan status mereka lebih cepat terselesaikan agar jumlah pengungsi asing yang telantar berkurang. Sementara itu seorang satpam UNHCR menolak untuk memberikan kesempatan mewawancarai para pejabat di kantor UNHCR dengan dalih harus memberikan surat pengantar dari kantor.
Bagi warga Jakarta yang sering makan malam dengan menu nasi goreng Kebon Sirih keberadaan orang asing atau imigran tidur di pinggir jalan yang ada di depan kantor itu sudah merupakan pemandangan biasa. Sebelum Ramadhan lalu, ketika seorang tukang parkir ditanya siapa yang tidur di jalanan itu, dia menjawab:''Entah mas. Katanya orang dari Arab,''.
Si tukang parkir memang menjawab sekenanya dengan melihat wajah mereka yang sepintas banya diantaranya mirip dengan orang beretnis timur tengah. Mereka tidur ditrotoar dengan beralaskan tikar dan memakai selimut. Mereka tidur menggeletak di lantai tempat orang jalan kaki dengan masih menggunakan sepatu. Mereka tak hirau bila menjadi tontontan para penikmat kuliner malam hari yang ada di pinggir jalan Kebon Sirih.