Senin 11 Jul 2016 10:10 WIB

'Pengawal' Dadakan Bermunculan di Malang

Alun-Alun Tugu Malang sebagai pusat kota.
Foto: Republika/Rakhmawaty
Alun-Alun Tugu Malang sebagai pusat kota.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Anda baru pertama kali lewat jalan kesini ya", kata seorang pemilik warung yang berada di pinggir jalan raya antara Kabupaten Banyuwangi dan Jember, saat Antara mampir untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan dari Banyuwangi, Ahad tengah malam.

Jawaban tersebut disampaikan untuk menanggapi pertanyaan dan rasa penasaran sehubungan dengan banyaknya warga yang berdiri di pinggir jalan, tua dan muda, bahkan anak-anak yang masing-masing membawa senter.

Mereka berdiri mengambil posisi di setiap tikungan jalan yang cukup sempit, dan meneriakkan sesuatu kepada setiap mobil pribadi yang lewat.

Dari pemandangan sekilas, mereka seperti menawarkan sesuatu kepada para pelintas, sebagaimana yang banyak dijumpai di jalan menuju Puncak ketika warga menawarkan jasa untuk mencarikan vila.

Namun di jalan raya yang sepi pada malam hari dengan kondisi jalan berkelok dan menyusuri tebing, sama sekali tidak dijumpai vila atau restoran yang membutuhkan tenaga pemasaran.

Antara yang merasa penasaran hanya mendapatkan jawaban yang tidak jelas dengan ekspresi sama bingungnya ketika ditanyakan apa yang sedang mereka lakukan di tengah malam dan di jalan yang gelap dan sepi.

Dari keterangan pemilik warung yang mengaku bernama Suwarso itu, akhirnya diketahui bahwa warga yang berada di pinggir jalan tersebut ternyata "berprofesi" sebagai pengawal, dalam arti menawarkan jasa untuk mengawal pengendara saat melewati jalan yang sempit dan curam, terutama pada saat dalam kondisi macet.

Tapi meski kondisi jalan lengang pada malam hari, ternyata para penawar jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan sama sekali itu, masih tetap menjalankan tugasnya.

Seorang penumpang kendaraan sedan yang melintas pelan dari arah Jember, tampak melemparkan beberapa pecahan uang logam ke arah seorang ibu yang menggendong bayi. Sang ibu pun terlihat mencari-cari pecahan yang berserakan tersebut dengan senter.

"Mereka bukan orang jahat, sebenarnya mereka berada berada disana untuk mendapatkan imbalan uang, meski sebenarnya tidak melakukan apa-apa, terutama pada saat sepi di malam hari seperti sekarang ini," kata Suwarso yang tampak enggan menyebut kata "pengemis" untuk pekerjaan tersebut.

Trisno, seorang pemilik warung lainnya, menuturkan bahwa pemandangan tersebut merupakan hal yang sudah biasa dan bahan sudah berlangsung selama puluhan tahun.

"Pemandangan seperti itu akan dijumpai selama 24 jam. Mereka juga punya jadwal kerja secara bergiliran, biasanya sang anak kemudian mengganti sang bapak atau sebaliknya," kata Trisno.

Menurut keterangan Trisno, pada saat-saat menjelang Lebaran, para "pengawal" tersebut bisa mendapatkan penghasilan lebih dari Rp100 ribu per hari.

"Mungkin itu sebabnya mereka tidak mau meninggalkan profesi tersebut meski sebenarnya sama saja dengan mengemis," kata Trisno yang mengaku sering mendapat pertanyaan yang sama dari pelanggannya, terutama yang baru pertama kali melintas di daerah tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement