REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Anton Supit mengatakan, Malaysia jauh lebih maju dibandingkan Indonesia dalam hal pengelolaan serta manajemen SDM yang handal dan kompetetitif. Sebab untuk membangun seperti Malaysia sekarang ini, Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhammad sudah melakukan perencanaan sejak tahun 1997.
Namun, ujar dia, Malaysia saat ini kekurangan tenaga kerja terutama untuk jabatan-jabatan blue collar workers di pabrik, kilang, kebun, dan lapangan. "Sebab kebanyakan lulusan universitas lebih suka menjadi tenaga white collar di bidang administrasi, manajemen, perbankan, keuangan, advokat, konsultan, akuntan," ujarnya, Sabtu, (25/6).
Padahal, jabatan dalam blue collar membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah massal yang tidak mampu dihasilkan oleh kampus-kampus di Malaysia. Menghadapi fakta tersebut, pemerintahan Mahathir Mohammad di era 90-an berupaya mencari solusi yang visioner dengan menggunakan model Jepang dan Jerman.
Pada tahun 1997, sepulang dari kunjungannya ke Jerman, Mahathir mendeklarasikan perlunya memperluas apprenticeship sebagai salah satu pola pelatihan yang efektif untuk mengatasi mismatch. Pola ini sudah diterapkan cukup lama di Jerman, dan sukses menjadi tulang punggung industri Jerman.
Oleh karena itu pemerintah Malaysia memutuskan mengalokasi anggaran secara signifikan untuk proyek-proyek pelatihan dalam apprenticeship. Ini dilakukan untuk mengisi jabatan blue collar sebab jabatan ini membutuhkan orang-orang yang punya skill baik.
Apprenticeship atau Sistem Latihan Dual Nasional (SLDN) dipilih karena beberapa faktor antara lain best practice Jerman, mengirit anggaran karena person in chargenya adalah swasta, serta efektif dalam mentransfer skill secara utuh.