REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi kinerja penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri yang membongkar praktik pembuatan vaksin palsu untuk bayi. Wakil Ketua KPAI Susanto mendesak aparat berwajib menghukum pelaku seberat-beratnya. Itu lantaran praktik tersebut merupakan kejahatan yang tak bisa ditoleransi.
Susanto juga meminta polisi dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengusut tuntas kasus hingga akar-akarnya. "Peredaran vaksin palsu merupakan bentuk kejahatan serius. Siapa pun orang terlibat perlu diusut tuntas. Tak boleh, ada orang mengais rezeki atas nama kesehatan, tapi justru mengancam keselamatan orang," ujar Susanto saat dihubungi, Sabtu (25/6).
Menurut dia, Kemenkes harus benar-benar menaruh perhatian atas kasus itu. Tentu hasil investigasi terkait keterlibatan rumah sakit, apotik, dan bayi yang terindikasi mendapat vaksin palsu sangat ditunggu-tunggu publik. Apalagi peredaran vaksin palsu itu sudah berjalan selama 13 tahun.
"Kemenkes harus benar-benar melakukan investigasi untuk memastikan rumah sakit mana, apotek mana, daerah mana dan bayi di mana saja yang terindikasi menggunakan vaksin palsu," ujar Susanto.
Atas peristiwa itu, pihaknya mengajak semua pihak agar lebih waspada dan segera berbenah melindungi anak dari vaksin palsu. "Dengan terkuaknya kasus ini, saatnya berbenah untuk melindungi anak dari vaksin palsu," kata dia.
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri menangkap 10 orang pemalsu vaksin. Hasil pengembangan mengungkap tiga kelompok produsen vaksin palsu yang tidak saling mengenal satu sama lain.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigjen Agung Setya menyampaikan, awalnya polisi menangkap J, selaku pemilik Toko Azca Medical di Bekasi pada 16 Juni. Berdasarkan keterangan J, polisi menemukan tiga titik yang diduga menjadi tempat meracik vaksin palsu, yakni di Jalan Serma Hasyim, Bekasi Timur; Puri Hijau Bintaro; dan Kemang Regency, Bekasi.
Dari tiga lokasi itu, polisi meringkus sembilan orang, terdiri dari lima produsen, dua kurir, satu pencetak label, dan satu penjual. Vaksin palsu itu, lanjut Agung, didistribusikan ke Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Dalam kasus itu, penyidik menyita 195 sachet vaksin Hepatitis B, 221 botol vaksin Pediacel, 364 vial/botol pelarut vaksin campak kering, 81 sachet vaksin penetes polio, 55 vaksin anti Snake dalam plastik, dokumen penjualan vaksin, bahan baku pembuatan vaksin, alat pres untuk menutup botol vaksin serta vaksin palsu lainnya.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar dan Pasal 62 juncto Pasal 8 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.