Kamis 23 Jun 2016 14:35 WIB

Kemenkes Diminta Patuhi Keputusan Presiden Soal FCTC

Petani memetik daun tembakau bagian atas yang tersisa di Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (1/12).
Foto: ANTARA
Petani memetik daun tembakau bagian atas yang tersisa di Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (1/12).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji menilai, sikap Kementerian Kesehatan yang akan mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) bertabrakan dengan sikap Presiden Jokowi yang tidak memprioritaskan mengaksesi FCTC. Ia pun menuding Kemenkes melawan keputusan presiden yang akan mengkahi dari banyak aspek soal aksesi FCTC.

 

Presiden Jokowi menyatakan persolan tembakau tidak bisa dilihat dari satu aspek kesehatan. Ada banyak aspek yang terkandung di dalam industri hasil tembakau, mulai dari soal HAM, petani, buruh pabrik, hingga pedagang asongan yang harus dilindungi.

"Kami menyayangkan logika berfikir Dirjend P2P Kemenkes RI yang selalu mendesak pemerintah kita untuk segera menandatangani FCTC,” kata Agus dalam keterangan tertulis, Kamis (23/6).

Seharusnya, kata dia, menteri kesehatan mendukung langkah Presiden. Bukan bersikap sebaliknya. Menurut Agus, pemerintah tidak usah mengaksesi FCTC karena PP 109 sudah sepenuhnya mengadopsi isi FCTC.

"Petani tembakau menolak keras FCTC. Jangan hanya melihat aspek kesehatan saja, namun memperhatikan kultur budaya petani. Kami para petani ingin berdaulat menanam tembakau," kata dia.

 

Ketua Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK), Zulvan berpendapat presiden tahu betul perlindungan kesehatan masyarakat harus dilakukan secara komprehensif tanpa mematikan pihak petani tembakau dan seluruh pemangku kepentingan pertembakauan di Indonesia. "Kekuatan kretek sebagai salah satu kekuatan ekonomi nasional tentu akan mati dengan aksesi FCTC," ujar Ketua KNPK, Zulvan, saat dihubungi wartawan.

Pengamat hukum Margarito Kamis mengingatkan, sikap kementerian tidak boleh melampaui presiden, terutama berkaitan dengan regulasi yang punya dampak luas seperti FCTC. Secara ketatanegaraan, Margarito menjelaskan, Kemenkes atau kementerian lain tidak bisa mengambil tindakan hukum apapun dalam soal FCTC ini. Termasuk pada pembahasan ratifikasi selama belum mendapat instruksi Presiden.

 

“Menteri, sebagai pembantu Presiden, tidak boleh bertindak melampaui kewenangan presiden,” kata Margarito. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement