REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah membatalkan lebih dari 3.000 reraturan daerah (perda). Perda-Perda tersebut dinilai sebagai salah satu penghambat pembangunan ekonomi.
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Sigit Sosiantomo mengatakan alasan pembatalan perda-perda yang dikemukakan pemerintah dapat memicu kontroversi.
"Seharusnya pembatalan perda dilakukan dengan mempertimbangkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai parameter," katanya, Rabu, (16/6).
Pembatalan itu dilakukan seharusnya berdasarkan penelitian apakah perda tersebut sesuai Pancasila dan UUD 1945 atau tidak. Bukan semata karena dianggap menghambat pembangunan.
"Penghapusan Perda-Perda yang dianggap bermasalah hanya karena menghambat pembangunan, malah akan mendorong proses liberalisasi dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia. Pemerintah harus menjelaskan Perda-Perda apa saja yang dihapuskan, mengapa dihapuskan, dan faktor apa yang membuatnya menjadi penghambat pembangunan," jelasnya.
Wacana pembatalan perda-perda yang dianggap bermasalah berawal dari penjelasan Kementerian Bappenas soal jumlah aturan yang berlaku di Indonesia. Kementerian Bappenas mengungkapkan ada sekitar 42.000 aturan dalam bentuk perpres, PP, permen, hingga Perda.
Presiden Jokowi menilai jumlah tersebut terlalu banyak dan menghambat pembangunan. Kementerian Dalam Negeri lalu mengungkapkan, sekitar 3.143 Perda telah dibatalkan.