Rabu 15 Jun 2016 06:00 WIB

Relawan Perlaya di Negeri Syam

Hamza semasa hidup
Foto: Ist
Hamza semasa hidup

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Doddy Cleveland (Relawan Kemanusiaan)

Ramadhan saat ini seolah kembali mengingatkan dengan seorang relawan kemanusiaan yang perlaya (menemui ajalnya) di negeri Syam pada usia yang masih muda tepat Ramadhan dua tahun lalu.

Saya mengenal anak muda itu di Kota Aleppo, Suriah, sewaktu masih menjadi relawan kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sekaligus pelaksana program Food for Syria di bulan September tahun 2013. Pertemuan yang hanya beberapa hari namun sangat intens itu membuahkan rasa saling mengenal, keakraban, dan respek yang mendalam. Sikapnya yang hangat, tulus, dan penuh keceriaan itu sangat mengesankan bagi siapa pun yang mengenalnya.

Dia memperkenalkan dirinya sebagai Hamza, asli orang Suriah.  Setelah beberapa waktu berkenalan, barulah saya mengetahui darinya bahwa nama tersebut bukanlah nama sebenarnya. Untuk alasan keselamatan, sangat lazim bagi masyarakat Suriah di pengungsian menggunakan nama samaran. 

Orangnya ganteng mirip aktor film dengan perawakan seperti orang melayu. Gayanya cool dan ‘asyik’. Sangat ramah, hatta terhadap orang yang baru dikenalnya, juga humoris. Begitu bertemu dengannya, kami langsung akrab dan laksana sahabat lama.

Sebelum di Aleppo, Hamza tinggal di kota Damaskus. Hamza seorang yang cerdas, menamatkan S1 nya tahun 2012 di Fakultas Teknik  Jurusan Biotechnology di Damascus University. Ia adalah seorang atlet yang memenangkan banyak medali dan tropi dalam  berbagai kejuaraan senam. Hamza juga menyukai olahraga renang dan taekwondo. Hobi fotografi, serta fasih berbahasa Arab dan Inggris. Hamza orang yang cukup agamis , 4 juz Alquran dia hafal di luar kepala.

Perang di Suriah yang bermula pada Maret 2011 dan kemudian membara ke seantero Suriah, akhirnya memaksanya untuk pergi meninggalkan Damaskus. Meninggalkan semua kenangan dan juga cita-citanya sebagai seorang expert di bidang Biotechnology.  Ia kemudian menetap di Aleppo, kota terbesar ke dua di Suriah. Di kota yang tercabik perang ini, Hamza bergabung dengan sebuah Lembaga Kemanusiaan Suriah. Dan kerja-kerja kemanusiaan membuat kami bertemu.

Hamza dan beberapa relawan mendiami sebuah bangunan laksana rumah toko. Di sini pula kami menetap selama di Aleppo. Bangunan ini berlantai 4, tanpa lift tentunya. Bangunan setengah jadi, dengan berbagai kerusakan-kerusakan, buah akibat perang. Tempat ini juga di lengkapi dengan sebuat genset kecil, karena di Aleppo, listrik selalu byar pet. Aliran listrik lebih sering padam ketimbang menyala. Headlamp yang kami bawa dari Jakarta juga seringkali kami kalungkan di leher, bahkan pada saat tidur sekalipun.

Lokasi bangunan tempat kami tinggal ini terletak di sebuah pasar yang cukup ramai. Berada di pinggir jalan raya yang tidak terlalu besar. Tidak sampai 50 meter dari tempat ‘kost’ kami, ada sebuah bangunan rumah sakit lima lantai porak poranda dibom dengan daya ledak tinggi. Konon masih banyak korban baik pasien, masyarakat, maupun tenaga medis yang mati syahid dan terkubur di rumah sakit tersebut. Namun keterbatasan peralatan berat menyebabkan susahnya menggali bangunan yang sudah lumat tersebut.

Pada waktu itu, kontrol atas Kota Aleppo terbagi dua, yaitu sebagian dikuasai oleh oposisi dan sebagian masih dikuasai oleh pemerintah, sehingga pertempuran terjadi setiap hari, terlebih di waktu malam untuk memperebutkan dan mempertahankan bagian bagian kota. Rententan suara tembakan dan suara ledakan bom yang menggelegar kerap terdengar dari tempat kami tinggal.

Setiap pagi saya dan Hamza memiliki aktivitas menyiapkan roti-roti bagi para pengungsi dan masyarakat miskin di Aleppo. Roti di produksi di sebuah pabrik roti tersembunyi yang kami biayai operasionalnya. Bahan baku utama yaitu gandum berasal dari Turki. Setiap pagi, kami sudah bergerak menuju pabrik roti tersebut, melakukan pendataan dan persiapan untuk melakukan distribusi.

Untuk distribusi, kami membentuk 12 pos kemanusiaan untuk pembagian roti secara gratis, dimana melalui pos-pos kemanusiaan tersebut, ribuan paket roti didistribusikan bagi ribuan keluarga setiap harinya. Sudah jadi pemandangan umum di berbagai kota di Suriah, anak-anak dan ibu-ibu berbaris mengantri pembagian roti di pagi hari. Perang memang telah melumpuhkan sendi ekonomi begitu banyak keluarga.

Untuk operasional, kami menggunakan sebuah mobil sedan tua berwarna hitam yang sudah koyak disana sini. Mobil dengan penuh gores dan beberapa bekas lubang peluru. Tentu saja tidak ber AC. Dengan mobil ini kami menyambangi pos-pos kemanusiaan yang kami bentuk untuk melakukan pendataan dan berbagai keperluan. Sedangkan roti dibawa oleh sebuah truk. Kelak, setelah beberapa bulan meninggalkan Aleppo, mobil operasional ini terkena bom dan hancur total.

Hamza orang yang sangat cekatan, cerdas, dan senang membantu. Berbagai ide hingga perencanaan teknis dapat lahir dari dirinya untuk membuat berbagai program kemanusiaan. Dari berbagai diskusi, lahirlah ide-ide untuk membuat berbagai program kemanusiaan yang menyentuh langsung hajat para pengungsi dan orang-orang miskin dan yang termiskinkan akibat perang di Kota Aleppo.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement