REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR), Masykurudin Hafidz menilai definisi politik uang dalam UU Pilkada harus dikaji ulang.
Hal tersebut berkaitan dengan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bisa mengeluarkan sanksi administratif maupun pembatalan pasangan calon di Pilkada.
"Itu sebenarnya untuk memberikan jembatan bahwa fungsi Bawaslu harus benar-benar berjalan. Maka kita memang harus mendefinisikan politik uang secara ulang," ujarnya di Jakarta, Jumat (10/6).
Pendefinisian ulang tersebut dapat dijelaskan dengan dua poin, pertama yang disebut politik uang adalah segala hal baik uang, barang, atau jasa yang digunakan untuk kepentingan pencalonan dan mempengaruhi pemilih.
Kedua, karena UU mengatakan bahwa politik uang merupakan dana di luar transportasi dan komunikasi ditambah bahan kampanye yang besarannya mencapai Rp50 ribu, maka uang, barang, atau jasa yang melebihi nominal tersebut termasuk politik uang.
"Tapi kalau di bawah Rp50 ribu itu masih dalam kategori uang pengganti transportasi, konsumsi, dan bahan kampanye," katanya.
Akan tetapi JPPR menegaskan, nominal tersebut tidak berlaku bagi penyelenggara Pemilu dan akan tetap dinilai sebagai praktik politik uang berapa pun jumlahnya. Sebelumnya DPR RI melalui rapat paripurna, telah menyetujui agar Revisi UU Pilkada disahkan menjadi undang-undang.
Sejumlah poin krusial di UU Pilkada tidak berubah antara lain calon perseorangan (independen) dapat maju jika telah mengantongi 534.000 KTP, anggota DPR harus mundur jika mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dan petahana cukup mengajukan cuti jika ingin maju kembali sebagai kepala daerah di wilayahnya.