REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah Deradikalisasi dalam draf rancangan Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme mendapat kritikan. Penggunaan istilah ‘Deradikalisasi’ dinilai kuran pas diterapkan untuk konteks penanganan terorisme di Indonesia.
Pakar Jaringan Terorisme Asia, Ahmad Baidhowi mengatakan, seharusnya lebih tepat digunakan istilah ‘Reedukasi’ untuk penyadaran kembali pelaku terorisme. Dalam proses pembelajaran ada masa berhenti belajar (unlearning), hal itulah yang terjadi pada pelaku terorisme. Mereka merasa menjadi yang paling benar. Sebab itu, harus ada pengembalian proses belajar.
“Saran saya, deradikalisasi diubah menjadi reedukasi, persoalan DPR mau menerima atau tidak kan itu persoalan politis, bukan praktis,” kata Ahmad Baidhowi saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Khusus RUU Terorisme, di kompleks parlemen Senayan, Rabu (8/6).
Baidhowi menambahkan, istilah deradikalisasi mengadopsi dari luar Indonesia untuk menghadang paham-paham radikal yang berkembang. Padahal, konteks Indonesia yang masih memiliki adab seperti mendengarkan nasehat orang tua kurang pas untuk menggunakan istilah deradikalisasi.
Sebagai seorang pendidik, Baidhowi menegaskan setiap orang memiliki pikiran radikal. Meskipun, aspek pikiran radikal dapat berbeda-beda setiap orang. Bukan hanya soal paham, tapi pikiran radikal soal tidak akan makan 'soto' juga termasuk pikiran radikal. Jadi, penggunaan istilah deradikalisasi membuat semua orang disamaratakan.
Menurut Baidhowi, pemerintah sebenarnya tidak perlu mengkhawatirkan adanya pikiran radikal pada setiap orang. Kalau hanya sebatas pikiran, bukan menjadi persoalan karena setiap orang memang memiliki pikiran radikal terhadap sesuatu. Hanya saja, kalau pikiran radikal itu dilakukan dengan melakukan tindak pidana kekerasan, negara harus hadir untuk melindungi rakyatnya.
“Soal paham biarkan saja, asal tidak melakukan tindak kekerasan,” tegas Baidhowi.
Pendekatan paling memungkinkan untuk menjaga pikiran radikal adalah dengan proses belajar kembali, dengan pendidikan. Untuk mengembalikan mereka pada proses belajar kembali dibutuhkan penilaian awal pada pelaku teroris. Caranya dengan pendekatan pendidikan yang memang butuh waktu panjang, namun efektif.