REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pemerintah Provinsi Bali mengusulkan wilayah Pulau Dewata untuk mendapat kewenangan otonomi asimetris.
Ini tidak sama dengan otonomi Daerah Istimewa (DI) Aceh, Yogyakarta, atau Papua, melainkan kewenangan dalam hal pemeliharaan adat, budaya, dan tradisi.
"Otonomi asimetris ini diperlukan, misalnya mengatur hubungan antara desa dinas dan desa adat (pekraman). Ada sejumlah desa dinas yang berada dalam satu desa adat dan sebaliknya ada pula sejumlah desa adat yang berada di dalam desa dinas," kata Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, Rabu (25/5).
Bali memiliki keunikan, salah satunya desa pekraman diatur dengan awig-awig. Desa dinas mengatur hal-hal terkait kedinasan, sementara desa pekraman mengatur budaya, adat, tradisi, dan agama yang tak bisa dipisahkan.
Desa pekraman bersifat sangat otonom sehingga desa dinas kadang tak bisa ikut campur. Salah satu permasalahan yang timbul adalah pengelolaan bantuan keuangan khusus (BKK).
Desa pekraman saat ini tidak berbadan hukum, sehingga sesuai aturan pemerintah tidak bisa menerima dana hibah atau bantuan sosial. Untuk mengatasinya, pemerintah provinsi menyalurkan BKK untuk desa adat melalui desa dinas.
Penyaluran BKK yang nilainya merata di setiap desa dinas akhirnya tidak merata diterima desa adat. Ada desa dinas yang membawahi banyak desa pekraman. Dengan pemberlakuan otonomi asimetris, kata Pastika Bali bisa mengelola sendiri dana dari pusat supaya pembangunan merata.
Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri, Ahmad Erani Yustika mendukung tata kelola desa di Bali berdasarkan kebudayaan untuk menunjang pemerintahan formal. Bali menurutnya sangat kuat menjalankan nilai-nilai lokal yang membantu menyelesaikan permasalahan di tingkat desa.
"Pemanfaatan dana desa harus melalui musyawarah desa agar tercipta program terencana dan relevan dengan lingkungan," katanya.
Ahmad Erani juga menekankan pentingnya fungsi pengawasan pelaksanaan dana desa untuk meminimalisir terjadinya kesalahan.
Bali memiliki 1.488 desa adat yang menjadi benteng terakhir tradisi dan budaya Bali. Desa adat memiliki struktur pemerintahan sendiri yang dipimpin seorang bandesa. Gubernur dan bupati tidak berwenang memerintah desa adat, melainkan hanya mengurus administrasi pemerintahan.