Selasa 24 May 2016 21:20 WIB
Kasus Suap Panitera PN Jakpus

Sekretaris MA Bantah Sembunyikan Sopirnya

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman memasuki mobil usai diperiksa KPK di gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/5).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman memasuki mobil usai diperiksa KPK di gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi membantah telah menyembunyikan sopir sekaligus stafnya Royani.

Hal itu dikatakan Nurhadi, menyusul dugaan disembunyikannya Royani oleh pihak Nurhadi, yang menyebabkan ia mangkir dalam dua kali pemanggilan Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Tidak benar itu. Tidak benar," ujar Nurhadi di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/5).

Namun saat ditanyai mengenai keberadaan bawahannya tersebut, Nurhadi mengaku tidak tahu menahu keberadaan anak buahnya itu.

"Tidak tahu," ucapnya.

Tetapi ketika kembali ditegaskan soal keberadaan Royani, Nurhadi hanya menjawab di kantor.

Seperti diketahui, keberadaan Royani, sampai saat ini tidak diketahui. Padahal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjadwalkan dua kali pemeriksaan terhadap Royani, namun ‎dua kali pula Royani mangkir tanpa alasan.

KPK sendiri beberapa kali menyebut kesaksian Royani sangat dibutuhkan dalam kaitan kasus dugaan suap pengamanan peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tak hanya itu, dalam kasus ini KPK juga telah menggeledah kediaman dan ruangan kerja Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman yang diduga terlibat. Dalam penggeledahan itu, KPK juga menyita uang senilai Rp 1,7 miliar.

Adapun dalam kasus suap PN Jakpus ini. diketahui KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka pasca operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Rabu (20/4) lalu.

Keduanya, yakni Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dan seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.

Dari operasi itu, KPK menemukan uang Rp 50 juta dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu yang ditengarai sebagai uang 'pelicin' terkait pendaftaran atau pengajuan perkara peninjauan kembali (PK) di PN Jakarta Pusat.

KPK kemudian menjerat Doddy selaku pemberi dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara Edy sebagai penerima dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1‎ KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement