REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- LBH Keadilan menilai Mahkamah Agung tidak bisa terus pasif dan diam melihat satu per satu hakim ditangkap KPK. Terakhir, KPK menangkap tangan hakim di Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu.
"Wajah peradilan yang terus tercoreng dan sikap pasif pimpinan Mahkamah Agung tidak bisa terus didiamkan," kata Ketua Pengurus LBH Keadilan Abdul Hamim Jauzie dalam siaran pernya di Jakarta, Selasa.
Menurut Abdul Hamim Jauzie, para hakim agung harus terus mendesak pimpinan Mahkamah Agung agar melakukan perbaikan secara total karena mereka juga turut bertanggung jawab menjaga wibawa peradilan.
LBH Keadilan berpendapat, apabila Ketua Mahkamah Agung M Hatta Ali tidak lagi mampu melakukan perbaikan untuk mengembalikan wajah peradilan yang terus tercoreng, maka pihaknya mendesaknya mundur,
"Desakan mundur bukan sesuatu yang berlebihan. Pilihan mundur dari jabatan juga merupakan pilihan terhormat dan merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas tercorengnya wajah peradilan kita," katanya.
Peradilan Indonesia kembali tercoreng oleh perilaku aparaturnya setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Senin (23/5) menangkap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang yang juga Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, JP. Penangkapan diduga terkait kasus korupsi honor alat kesehatan Rumah Sakit M Yunus Bengkulu.
Sebelumnya pada 12 Februari, KPK juga menangkap Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus Mahkamah Agung Andri Tristianto dan menangkap Panitera/ Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution pada 20 April.
Penangkapan Edy Nasution menyeret Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi yang kemudian dicekal oleh KPK dan beberapa waktu terakhir tidak masuk kerja.