Rabu 18 May 2016 07:03 WIB

Catatan 18 Tahun Reformasi: Antara Stagnasi dan Salah Arah

Red: M Akbar
Ubedilah Badrun
Foto:

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa catatan keberhasilan reformasi sampai usianya yang ke-18 tahun ini. Hal yang paling menonjol ada pada dua hal saja. Pertama, pada soal civil liberties (kebebasan sipil). Rakyat merasa lebih bebas mengemukakan pendapat baik langsung maupun melalui media. Ada semacam kemajuan demokrasi sipil.

Kedua, pada soal pemberantasan korupsi. Keberadaan KPK memberi pengaruh signifikan dalam pemberantasan korupsi pasca reformasi 98 hingga saat ini. Dua keberhasilan tersebut kadang membuat penulis bersyukur karena minimal ada manfaatnya gerakan mahasiswa 98.

Dalam dinamika sosial politik sejak 98 sampai saat ini, sejarah 98 telah dikontruksi oleh sebagian pelaku sejarah atau pemilik modal di antaranya melalui film dibalik 98. Soal sejarah reformasi yang dibelokan memang terjadi. Inilah problem sejarah, seringkali memberi ruang kemungkinan subyektifitas dari para pelakunya.

Sejarah reformasi seringkali di klaim sebagai sejarah kelompok tertentu. Padahal reformasi 98 bukanlah pekerjaan tunggal kelompok tertentu. Reformasi 98 adalah sejarah kolektif bangsa ini, ia terjadi karena sinergi yang dahsyat dari banyak komponen bangsa di negeri ini.

Setelah 18 tahun reformasi, sudah waktunya melakukan refleksi, tetutama tentang arah bangsa kedepan. Penulis mengamati bangsa ini seperti tidak punya arah. Kita tidak punya panduan sistemik misalnya untuk mendesign Indonesia pada 2030? Atau 2050?

Episode lima tahunan saja yang dulu dibuat dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) kini tidak ada. Panduan substantif normatif konstitusional memang sudah ada yaitu Pancasila dan UUD 1945. Tetapi panduan operasional mengelola negara saat ini lebih ditentukan oleh sang pemenang dalam kontestasi politik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement