REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar hidrolog Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Robert Kodoatie menyebutkan sebagian besar wilayah di Kota Semarang merupakan cekungan air tanah.
"Tidak cocok jika dibuat embung untuk menahan air hujan," katanya di sela diskusi bertajuk "Mengatasi Permasalahan Air Bawah Tanah (ABT) di Kota Semarang" di Semarang, Senin (17/5).
Menurut dia, pembuatan waduk air tanah sesuai dengan teori pembagian tanah lebih disarankan untuk wilayah Semarang dibanding membuat embung-embung untuk menahan air hujan.
Namun, kata dia, untuk kawasan-kawasan yang sudah terlanjur dibangun menjadi permukiman atau perumahan bisa dilakukan pembuatan rongga-rongga tanah yang mampu menahan air hujan.
"Mengenai pengambilan ABT, tidak bisa kemudian pengambilnya yang disalahkan. Bagaimana rencana tata ruang wilayahnya (RTRW)? Sebab, RTRW berperan besar mengenai ABT," ujarnya.
Ia menyatakan peraturan daerah mengenai RTRW harus segera direvisi, sebab kawasan yang seharusnya menjadi daerah imbuhan justru dijadikan sebagai daerah budi daya atau permukiman.
"Wilayah Semarang ini terdiri dari daerah imbuhan, transisi, dan lepasan. Ketika air tidak bisa masuk ke daerah imbuhan maka menjadi air permukaan yang langsung ke transisi dan lepasan," katanya.
Demikian pula mengenai rob yang terus saja menjadi "langganan" daerah lepasan, Robert mengatakan tidak ada solusi jangka pendek yang bisa dilakukan jika perda RTRW tidak segera direvisi. "Kalau masih saja menggunakan pompa air, mahal dan tidak efektif," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas PSDA-ESDM Kota Semarang Solichin mengakui evaluasi pengendalian ABT terus dilakukan, antara lain menghentikan izin pengambilan ABT.
"Dari ratusan pemohon, hanya 40 pemohon yang kami setujui tahun ini. Tahun lalu, ada sekitar 30 pemohon. Kami memprioritaskan daerah-daerah yang belum terjangkau layanan PDAM," ungkapnya.