Senin 16 May 2016 20:12 WIB

Aksi Sweeping Buku PKI karena Trauma Masa Lalu

Rep: C30/ Red: Ilham
Lima judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal
Foto: Antara/Oky Lukmansyah
Lima judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerjemah dan Editor buku Indro Suprobo mengatakan, aksi razia buku-buku yang berbau PKI di latar belakangi oleh trauma masa lalu. Selain itu, ia juga menduga ketidak siapan menjadi pemicu aksi tersebut.

"Saya melihatnya sebagai persoalan tentang trauma dan kecurigaan paling besar adalah ketidak siapan untuk mengkaji ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial," ujar Indro saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Senin (16/5).

Kecurigaan tersebut, kata dia, karena masyarakat yang masih merasa dihantui oleh sesuatu yang diduga dapat membahayakan negara. Terutama kekhawatiran tentang paham tersebut yang akan menggulingkan ideologi pancasila.

"Padahal sebenarnya semua buku tentang sejarah masalalu, buku tentang teori-teori sosial itu sesuatu yang netral dan sebenarnya tidak ada kaitan sama sekali masyarakat Indonesia yang belajar dan mengkaji itu untuk mengutak atik ideologi. Karena ideologi kita sudah terbukti selesai," jelasnya pria asal Yogyakarta ini.

Hal itulah yang menurutnya harus menjadi bahan diskusi panjang oleh para pemangku kepentingan dan pemerintah. Sehingga kesimpulan yang didapat tidak hanya berdayakan dari pandangan masa lalu saja melainkan dapat dilihat dari perspektif masa kini.

"Saya kira ini PR besar pemerintah untuk melihat ini dari banyak perspektif. Ini bukan soal jualan buku sweeping, tetapi ini persolan yang secara lebih luas merupakan perjuangan untuk dewasa menjadi masyarakat Indonesia yang melepaskan diri dari trauma-trauma masa lalu," katanya.

Jika sudah mengakaji hal tersebut dari berbagai perspektif dan ahli, tentu saja masa depan bangsa Indonesia khususnya para individu sendiri akan lebih bisa menghargai perbedaan ideologi tersebut. Dengan begitu, tidak akan lagi ada bentuk-bentuk kekhawatiran untuk saling menghancurkan dan sebagainya.

"Ini problem laten yang menurut saya masih akan berjalan cukup lama. Karena traumanya cukup besar terutama di kalangan militer. Jadi poin saya adalah perlunya dialog dan perbincangan lebih luas dari berbagai kalangan supaya orang lebih dewasa dengan hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement