REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, dengan agenda pembacaan tuntutan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK meminta majelis hakim menghukum Nazaruddin dengan hukuman 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar subsidair satu tahun kurungan.
"Meminta majelis hakim menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp 1 miliar yang apabila tidak dibayar, maka diganti dengan hukuman satu tahun kurungan," kata Jaksa Kresno di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta, Rabu (11/5).
Jaksa menyatakan, Nazaruddin telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan merampas hak milik negara sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu primer, menerima hadiah, dakwaan kedua primer, TPPU dan penyamaran harta dari tahun 2010 hingga tahun 2014, serta dakwaan ketiga, TPPU dan penyamaran harta dari September 2009 hingga Oktober 2010.
Adapun hal yang memberatkan menurut jaksa, yakni perbuatan Nazar merupakan terstruktur dan sistematis untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Serta, perbuatanmya dianggap menentang kebijakan pemerintah, dimana saat ini Indonesia tengah gencar melakukan pemberantasan korupsi.
"Sedangkan perbuatan meringankan ialah terdakwa mengakui perbuatannya, terdakwa membantu dan terdakwa kooperatif dalam persidangan," ucap jaksa.
Dalam perkara ini, Nazaruddin didakwa menerima gratifikasi dari beberapa perusahaan untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan, kesehatan dan olahraga. Saat menerima gratifikasi, Nazar masih berstatus sebagai anggota DPR RI. Nazar juga merupakan pemilik dan pengendali Anugrah Grup yang berubah nama menjadi Permai Grup.
Sumber penerimaan keuangan Permai Grup itu disebut-sebut berasal dari imbalan (fee) yang diberikan oleh pihak lain kepada terdakwa. Imbalan tersebut diberikan karena terdakwa yang saat itu menduduki anggota DPR, telah mengupayakan pihak lain dalam mendapatkan sejumlah proyek yang dibiayai dari anggaran pemerintah.
Pada periode September 2009-Oktober 2010, Nazaruddin menerima uang dari pihak-pihak lain di antaranya, PT Adhi Karya, PT Duta Graha Indah (PT DGI) dan PT Pembangunan Perumahan (PT PP). Uang yang merupakan imbalan (fee) karena telah mengupayakan proyek-proyek pemerintah tahun 2009 tersebut, jumlahnya kurang lebih senilai Rp76,536 miliar.
Selain dari penerimaan imbalan, sumber penerimaan Permai Grup juga berasal dari keuntungan perusahaan-perusahaan yang tergabung di dalamnya, untuk mengerjakan berbagai proyek yang dibiayai dari anggaran pemerintah tahun 2009.
Nazaruddin menggiring anggarannya di DPR-RI dan mengatur proses pelelangannya, sehingga perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup tersebut ditunjuk sebagai pemenang atau rekanan penyedia barang dan jasa. Tak tanggung-tanggung total keuntungan yang diperolehnya, kurang lebih sebesar 40 persen dari total niali proyek yang dikerjakan yaitu Rp1,884 triliun.
Uang-uang yang berasal dari penerimaan imbalan maupun keuntungan mengerjakan proyek-proyek pemerintah tersebut diketahui atau patut diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi berkaitan dengan jabatan Nazaruddin selaku anggota DPR-RI.
Terhadap uang-uang tersebut, jaksa mendakwa Nazaruddin bermaksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya. Yakni, disamarkan dengan cara membeli aset, termasuk saham sejumlah perusahaan, seperti saham PT Garuda Indonesia Tbk sebesar Rp 300,8 miliar dan saham sejumlah perusahaan lainnya.