REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin menilai keputusan moratorium reklamasi Teluk Jakarta bisa menjadi perbuatan melawan hukum bagi pemerintah. Sebab, moratorium itu sama saja memberikan sanksi kepada pengembang.
"Padahal, pengembang tidak bisa dianggap bersalah soal keluarnya polemik siapa yang berwenang terhadap pemberian izin reklamasi, apakah gubernur atau menteri," kata Irmanputra Sidin dalam siaran pers yang diterima Antara, Jakarta, Jumat (9/5).
Sebelumnya, pemerintah secara sepihak menghentikan proses reklamasi pantai utara Jakarta. Menurut Irmanputra, penghentian reklamasi itu juga telah merugikan pengembang dan menjadi preseden buruk bagi kepastian investasi di Indonesia.
Irmanputra Sidin mengaku tidak paham cara pikir pemerintah ketika memutuskan moratorium reklamasi karena, bagaimanapun juga, pengembang adalah warga negara yang dijamin haknya oleh konstitusi, berupa hak atas perlindungan dan kepastian hukum.
"Mereka sudah mendapatkan izin untuk membangun pantai utara Jakarta dan karenanya izin itu tidak bisa dengan mudah dihentikan begitu saja oleh pemerintah," katanya.
Ironisnya, lanjut Irmanputra Sidin, penerima izin atau pengembang tidak berhak menentukan siapa yang berwenang memberi izin. Lalu, kalau izin dicabut, tambahnya, apa solusi yang diberikan pemerintah kepada pengembang yang sudah menghabiskan triliunan rupiah untuk membiayai proses reklamasi pantai utara Jakarta?
Irmanputra Sidin mengatakan, kalau izin itu dianggap bermasalah oleh pemerintah, solusinya adalah penyesuaian izin akan syarat yang dibutuhkan, bukan sanksi berupa moratorium.
"Bagaimana kalau para pengembang menggugat balik keputusan pemerintah dan meminta ganti rugi berapa besar biaya yang dikeluarkan?" katanya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Basuki T Purnama (Ahok), walau menerima perintah penghentian sementara (moratorium) reklamasi Teluk Jakarta, menyatakan moratorium ini merugikan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam proyek.