Kamis 05 May 2016 12:02 WIB

Menengok Relasi Miras dan Perkosaan

ilustrasi
Foto: flickr
ilustrasi

Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, -- Peristiwa biadab yang menewaskan  Yuyun, seorang pelajar SMP di Bengkulu, bulan lalu sepertinya membuat netizen sepakat bahwa perkosaan adalah fenomena jahat yang pelan-pelan jadi marak dan tak bisa lagi didiamkan. Yang orang belum sepenunya sepakat, apa yang jadi penyebab dan pemicu kasus-kasus demikian? Apa harus dilakukan untuk mencegahnya terulang kembali?

Sebagian melihat ini adalah warisan budaya patriarkis Indonesia, gambaran bahwa perempuan masih jadi objek yang dianggap lemah. Lainnya melihat bahwa konsumsi miras punya peran tak kecil mengingat para pemerkosa Yuyun memang mabuk tuak lebih dulu. Rerupa jalan, mulai dari penguatan hukuman untuk pemerkosa, gerakan penyadaran kesetaraan jender, hingga regulasi antimiras diusulkan.

Mana yang kiranya bakal efektif? Mari kita tengok data dan faktanya.

Pada 2015, Washington Post dan Kaiser Family Foundation mengadakan survei terkait pelecehan seksual dan perkosaan di 500 kampus di Amerika Serikat. Dari survei itu, mereka menemukan 1.057 responden yang berani bicara. Dari jumlah itu, sebanyak 62 persen mengatakan mereka mengkonsumsi alkohol sebelum insiden pelecehan seksual maupun perkosaan terjadi. 

Sementara Antonia Abbey dari Wayne State University merangkum sejumlah penelitian dari berbagai lembaga di AS yang menunjukkan bahwa setidaknya 50 persen kekerasan seksual di kampus-kampus AS dapat diasosiasikan dengan konsumsi alkohol. Secara lebih terperinci, survei menunjukkan bahwa 74 persen pelaku dan 55 persen korban dalam pengaruh alkohol saat kejadian berlangsung. Penelitian lain dari National College Women Sexual Victimization mencatat, 43 persen korban dan 69 persen pelaku dalam kasus kekerasan seksual mengkonsumsi alkohol. 

Penelitian George Washington University dan Fakultas Psikologi Washington University dan Indiana University menunjukkan bahwa alkohol punya peran mendorong peningkatan agresifitas seksual pelaku. Semakin banyak jumlah alkohol dikonsumsi, semakin tinggi potensi pelaku berbuat kasar. Namun, penelitian tersebut juga menemukan bahwa alkohol tak selalu jadi pemicu. Ia juga jadi fasilitas bagi niat-niat melakukan kekerasan seksual sebelum kejadian berlangsung.

Korelasi lainnya, pelaku menilai korban yang mabuk jadi lebih lemah dan lebih permisif sehingga mendorong pelaku melakukan kekerasan seksual. Artinya, alkohol tak hanya bisa memicu pelaku, tapi juga menempatkan korban pada posisi yang lebih lemah.

Bagaimanapun, menempatkan alkohol sebagai satu-satunya sebab munculnya kekerasan tentu tak cerdas juga. Tapi menegasikan alkohol sebagai salah satu faktor pemicu saya rasa kurang bijak.

Perkosaan memang lahir bukan hanya dari hasrat, tapi bisa juga persepsi yang lazim di masyarakat soal posisi lemah perempuan dan keadidayaan lelaki.  Apakah kemudian hanya jalan penyetaraan gender saja yang bisa menghentikan kasus perkosaan?

Untuk menilai hal itu, mari menengok ke Swedia. Negara tersebut  sejak lama memprioritaskan agenda kesetaraan jender. Ia dijura sebagai kampiunnya kesetaraan publik di Eropa melalui rerupa produk-produk legislasi. Namun, menurut pencatatan Departemen Obat-obatan dan Kriminal PBB (UNODC), tingkat pemerkosaan di Swedia sebanyak  66,5 kasus banding 100 ribu warga pada 2012 silam. 

Jumlah itu yang tertinggi di dunia. Gambarannya, pada tahun itu, UNODC mencatat 0,7 kasus per 100 ribu warga di Indonesia. Yang harus dicermati dari laporan PBB itu, tak seluruh negara mencatatkan laporan pemerkosaan. 

Tak seluruh korban negara di negara-negara dengan nilai-nilai patriarkis yang kental juga berani melapor.  Bisa jadi laporan di Swedia tinggi karena perempuan di negara tersebut lebih banyak yang berani melapor ke polisi.

Selain itu, negara-negara yang secara total melarang alkohol, menurut catatan UNDOC, belum sepenuhnya bebas dari kasus perkosaan. Brunei Darussalam misalnya, tingkat kasus perkosaannya pada 2006 sempat lebih tinggi dari Indonesia dengan angka 7,5 kasus per 100.000 warga. Bangladesh juga pernah mencetak skor 8,1 kasus per 100 ribu warga pada 2006.

Bagaimana dengan pengenaan hukuman yang lebih keras terhadap pemerkosa? Belanda memiliki salah satu hukum paling ketat terkait perkosaan. Meski begitu dalam daftar UNDOC, negara tersebut mencatatkan 8,9 kasus per 100 ribu warga pada 2012 lalu. Di Hong Kong merunut  hukum Cina, pemerkosa bisa dikenai hukuman mati. Kendati demikian, tingkat pemerkosaan pada 2012 meningkat dari dua tahun sebelumnya dengan angka 1,7 kasus per 100 ribu warga.

Data-data di atas, menurut saya, mengindikasikan bahwa pencegahan dan pemberantasan kekerasan seksual dan perkosaan tak bisa jadi aksi parsial. Ia butuh banyak pihak untuk bekerjasama dan bergerak dengan langkah yang dianggap masing-masing bakal efektif melindungi perempuan dari kekerasan mengerikan tersebut.

Ikhtiar untuk menanamkan kesadaran dan penghormatan atas hak-hak perempuan, sebagaimanapun pentingnya, memerlukan waktu. Dalam jeda tersebut, penerapan hukuman yang lebih keras bisa diterapkan agar pelaku bisa berpikir panjang sebelum melakukan kejahatan. Nah, untuk pelaku berpikir panjang dan dengan akal sehat, pikirannya harus jernih dari pengaruh substansi-substansi yang melemahkan kesadaran macam alkohol. 

Selain itu, penerapan hukuman yang tegas bakal terganjal bila pelaku, seperti dalam kasus di Bengkulu, adalah anak-anak atau remaja di bawah umur. Evaluasi sistem pendidikan dan pengawasan agar anak-anak dan remaja tak bisa leluasa mengkonsumsi alkohol kemudian juga jadi penting.

Saya tegaskan, hanya dengan gerak bersama masing-masing pejuang, kekerasan terhadap perempuan bisa diminimalkan. Yang dialami Yuyun harus jadi penyatu, alih-alih jadi dalih pembeda agenda masing-masing. []

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement