Selasa 26 Apr 2016 07:40 WIB

Sejarawan: Museum Multatuli Jangan Sekadar Monumen Proyek

Bonnie Triyana
Foto: dok. pri
Bonnie Triyana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah Kabupaten Lebak Banten tengah berupaya membangun Museum Multatuli di Rangkasbitung. Proyek bernilai kurang lebih Rp 12,5 miliar ini diminta tidak sekadar menjadi monumen proyek yang menghabiskan APBD. “Saya tak ingin bangunan perpustakaan dan museum ini hanya sekadar "monumen proyek” yang mangkrak setelah selesai dibangun,” kata sejarawan Bonnie Triyana kepada Republika.co.id melalui surat elektronik dari Belanda, Senin (25/4).

Bonnie sedang mendampingi Bupati Lebak Iti Octavia Jaya Baya mengumpulkan dokumen Multatuli di Belanda. Menurut Bonnie museum sejarah Multatuli di Rangkasbitung harus didukung oleh penyusunan program kerja yang bermutu dan diikuti perencanaan program pariwisata sejarah yang terintegrasi dengan program museum. 

Selain itu perlu juga disiapkan berbagai pendukung lain mulai dari infrastruktur sampai dengan SDM. Yang tidak kalah penting, kata Bonnie, museum dan perpustakaan ini harus bisa menjadi pusat pembelajaran dan peradaban warga Lebak juga Indonesia. “Karena di museum ini kelak semua orang bisa belajar apa artinya kolonialisme itu dan bagaimana sejarahnya,” ujar Bonnie.

Bonnie mengatakan museum ini akan terdiri dari rangkaian perjalanan sejarah kolonialisme di Indonesia, mulai kedatangan VOC sampai dengan upaya Multatuli membuka kebobrokan dan juga bagaimana gerakan pembebasan bangsa oleh generasi Sukarno. Tentu saja tak lupa ada sejarah lokal Lebak.

Museum Multatuli juga akan memiliki satu bagian tentang kehidupan warga Lebak terkini, sehingga mereka bisa punya rasa memiliki terhadap museum. “Intinya adalah melibatkan peran masyarakat dalam aktivitas edukasi ini,” kata Pemimpin Redaksi Majalah Historia ini.

Rencananya Museum Multatuli akan menempati sebuah bangunan bekas kantor kewedanaan yang dibangun pada 1923. Letaknya di timur alun-alun Rangkasbitung, di sebelahnya sedang dibangun sebuah gedung berlantai tiga yang akan menjadi perpustakaan Saija-Adinda. Di depan museum terdapat sebuah pendopo yang bisa dipergunakan sebagai tempat pameran temporer dan juga pentas seni serta kegiatan anak-anak muda. Di perpustakaan selain terdapat koleksi buku, juga ada ruang audio visual, semacam bioskop kecil untuk pemutaran film dokumenter dan juga bisa jadi ruang diskusi. Yang pasti, museum dan perpustakaan ini publik area untuk berbagai kegiatan anak-anak muda, mulai pelatihan penulisan kreatif sampa dengan pentas seni.

Selain mengedukasi warga, Bonnie berharap museum dan juga program-programmnya (semisal festival sastra, kesenian dll) bisa mendatangkan turis/wisatawan ke Lebak. Sehingga mendorong kegiatan ekonomi (multiplier effect), semisal industri kreatif (batik, tas, souvenir), kuliner serta jasa homestay milik warga. “Intinya, program ini harus mendatangkan manfaat bagi warga lokal,” ujar pria kelahiran Rangkasbitung 1979 ini 

Menurut Bonnie ide pembangunan museum Multatuli di Rangkasbitung sudah berlangsung sekira 10 tahun lalu. Namun hanya mengendap sebagai gagasan. Setelah melalui berbagai diskusi, baru terlaksana tahun ini. 

Bonnie mengatakan museum sejarah Multatuli akan menjadi instrumen penting bagi bangsa ini mempelajari kolonialisme Belanda di Indonesia (Hindia Belanda). Kolonialisme selama ini selalu dipahami dengan cara yang bias rasisme: selalu identik dengan kedatangan orang berkulit putih yang mendominasi dan menindas. Padahal, imbuh Bonnie, sistem kolonialisme itu juga mewadahi kaum feodal yang pro Belanda yang juga turut menindas. “Artinya, gambaran kolonialisme itu tidak sesederhana memahami warna hitam dan putih,” katanya. 

Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker penulis roman Max Haveelar yang terbit pertama kali pada 1860. Eduard pernah sebagai asisten residen Lebak pada 4 Januari 1856. Pemuda Belanda berusia 35 tahun itu mulai bertugas di Lebak sejak 22 Januari 1856 dan berhenti dua bulan setengah kemudianMax Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di daerah Lebak, Banten. Max Havelaar adalah karya besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Di salah satu bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung. Baca juga Bupati Lebak Kumpulkan Dokumen Sejarah Multatuli di Belanda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement