Senin 25 Apr 2016 20:21 WIB

Bupati Lebak Kumpulkan Dokumen Sejarah Multatuli di Belanda

Bupati Lebak Banten Iti Octavia Jayabaya menerima cinderamata buku dari  Direktur Arsip Nasional Belanda Marens Engelhard
Foto: Majalah Historia
Bupati Lebak Banten Iti Octavia Jayabaya menerima cinderamata buku dari Direktur Arsip Nasional Belanda Marens Engelhard

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bupati Kabupaten Lebak, Banten Iti Octavia Jayabaya terus berupaya mewujudkan pembangunan Museum Multatuli di Rangkasbitung. Upaya itu salah satunya dilakukan dengan mencari berbagai dokumen sejarah mengenai Multatuli hingga ke Belanda.

“Bupati Lebak akan menghadiri pertemuan cukup penting dengan Multatuli Genootschap,” kata sejarawan Bonnie Triyana melalui surat elektronik dari Belanda kepada Republika.co.id, Senin (25/4).

Multatuli Genootschap merupakan perhimpunan Multatuli yang didirikan di Belanda pada 1910. Perkumpulan ini, kata Bonnie dibentuk untuk meneruskan cita-cita dan pekerjaan Multatuli. Saat ini perhimpunan tersebut beranggotakan para tokoh dan cendekiawan yang tak hanya dari Belanda, tapi juga dari negeri-negeri lain di Eropa. 

“Ketuanya Winnie Sorgdrager, mantan menteri kehakiman Belanda dan kebetulan (bukan disengaja), dia masih terhitung sebagai cicitnya Douwes Dekker alias Multatuli,” ujar Pemimpin Redaksi Majalah Historia yang juga mediator antara Pemkab Lebak dengan Belanda ini.

Pertemuan dengan Multatuli Genootschap akan diselenggarakan pada Selasa (26/4) di Museum Mulatuli Huis, Amsterdam. Museum ini dulunya merupakan tempat Multatuli dilahirkan. Sedianya Multatuli Genootschap akan menyerahkan sejumlah koleksi Multatuli kepada Iti. Bonnie mengatakan pertemuan akan dihadiri sejumlah cendikiawan dan wartawan.

Sebelum menggelar pertemuan dengan Multatuli Genootschap, Iti juga berkunjung ke Arsip Nasional Belanda di Den Haag. Di sana ia diterima langsung oleh Direktur Arsip Nasional Belanda Marens Engelhard. Marens juga menyerahkan menyerahkan duplikasi portofolio arsip Mutatuli kepada Iti. Salah satunya adalah arsip surat Multatuli kepada Raja Willem III, sebuah peta lama Lebak, dan duplikasi arsip-arsip penting lainnya.

Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker penulis roman Max Haveelar yang terbit pertama kali pada 1860. Eduard pernah sebagai asisten residen Lebak pada 4 Januari 1856. Ia mulai bertugas di Lebak sejak 22 Januari 1856 dan berhenti dua bulan setengah kemudian.

Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di daerah Lebak, Banten. Max Havelaar adalah karya besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Di salah satu bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.

Bonnie mengatakan di Belanda (juga di Eropa pada umumnya) nama Multatuli telah dikenal luas sebagai tokoh penganjur kebebasan. Dia orang pertama yang membuka kotak pandora kolonialisme Belanda di Indonesia, yang menyebabkan munculnya gerakan anti-kolonialisme. Multatuli menjadi semacam inspirasi. Sukarno pun mengutipnya di dalam pidato pembelaan Indonesia Menggugat di Pengadilan Landraad Bandung. “Multatuli adalah orang pertama yang mencoba membunuh kolonialisme. Itu kata Pramoedya Anata Toer,” ujar Bonnie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement