Rabu 20 Apr 2016 17:41 WIB

BPK: KPK Selalu Gunakan Data Kami

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Ilham
Suasana aktivitas di Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta, Jumat (6/11).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Suasana aktivitas di Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta, Jumat (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap berpegang pada laporan terkahir yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2015 terkait kasus pembelian lahan Sumber Waras. Selama ini, KPK percaya BPK sudah melakukan tugasnya sebagai auditor dengan baik.

Wakil Ketua BPK Achsanul Kosasih mengatakan, saat ini memang ada perubahan data penyimpangan dari Rp 191 miliar menjadi Rp 173 miliar. Meski ada perbedaan data ini, Achsanul menegaskan bahwa data apapun yang dimiliki BPK pasti digunakan KPK sebagai dasar pemeriksaan.

"BPK ini memang auditor negara yang banyak dijadikan dasar pemeriksaan atas temuan-temuan yang mencurigakan. Data kami hampir 99 persen digunakan sebagai acuan," kata Achsanul saat dihubungi, Rabu (20/4).

Mengenai perbedaan angka yang baru-baru ini mengemukan, Achsanul mengatakan dirinya belum bisa memastikan karena pihaknya tidak memegang data yang tepat. Namun angka Rp 191 miliar ini menjadi perkiraan berdasarkan metode perhitungan dari hasil jual beli RS Sumber Waras. "Ini kurang lebih lah," ujarnya.

Penjualan sebagian tanah lokasi RS Sumber Waras bermula pada 2013 lalu. Saat itu, YKSW menjual 36.441 meter persegi tanah RS Sumber Waras pada PT Ciputra Karya Utama (CKU) dengan harga Rp 15,5 juta per meter persegi atau setara Rp 564 miliar. Nilai itu lebih tinggi dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) saat itu sebesar Rp 12,195 juta.

Setelah membayar uang muka senilai Rp 50 miliar, kontrak pembelian tak kunjung ditindaklanjuti PT CKU, hingga datang tawaran dari Pemprov DKI pada pertengahan 2014. Pada Desember 2014, kesepakatan penjualan ke Pemprov DKI disepakati dengan nilai Rp 20,755 juta per meter persegi. Pembelian itu sekaligus membatalkan pembelian oleh PT CKU.

Pembelian oleh Pemprov DKI itu belakangan dinilai BPK terlampau mahal. Akibatnya, BPK menyimpulkan indikasi kerugian negara senilai Rp 191 miliar yang kemudian direvisi menjadi Rp 173 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement