Rabu 20 Apr 2016 17:32 WIB

BPK: Semua Data Penyelewengan Sumber Waras Pasti Digunakan KPK

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nidia Zuraya
Hasil Audit Sumber Waras. (dari kiri) Anggota III BPK Eddy Mulyadi Supardi, Anggota V BPK Moermahadi Soerja Djanegara, Wakil Ketua KPK Zulkarnain, dan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja saat konferensi pers usai penyerahan berkas audit investigasi pengadaan
Foto: Republika/ Wihdan
Hasil Audit Sumber Waras. (dari kiri) Anggota III BPK Eddy Mulyadi Supardi, Anggota V BPK Moermahadi Soerja Djanegara, Wakil Ketua KPK Zulkarnain, dan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja saat konferensi pers usai penyerahan berkas audit investigasi pengadaan

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap berpegang pada laporan terakhir yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2015 terkait kasus RS Sumber Waras. KPK percaya BPK sudah melakukan tugasnya sebagai auditor dengan baik.

Wakil Ketua BPK Achsanul Kosasih mengatakan, saat ini memang ada perubahan data penyimpangan dari Rp 191 miliar menjadi 173 miliar. Meski ada perbedaan data ini, Achsanul menegaskan bahwa data apa pun yang dimiliki BPK pasti digunakan KPK sebagai dasar pemeriksaan.

"BPK memang auditor negara yang banyak dijadikan dasar pemeriksaan atas temuan-temuan yang mencurigakan. Data kami hampir 99 persen digunakan sebagai acuan," ujar Achsanul saat dihubungi, Rabu (20/4).

Mengenai perbedaan angka yang baru-baru ini mengemuka, Achsanul mengatakan, dirinya belum bisa memastikan karena pihaknya tidak memegang data yang tepat. Namun, angka Rp 191 miliar ini menjadi perkiraan berdasarkan metode perhitungan dari hasil jual-beli RS Sumber Waras. "Ini kurang lebihlah," ujarnya.

Penjualan sebagian tanah lokasi RS Sumber Waras bermula pada 2013 lalu. Saat itu, YKSW menjual 36.441 meter persegi tanah RS Sumber Waras pada PT Ciputra Karya Utama (CKU) dengan harga Rp 15,5 juta per meter persegi atau setara Rp 564 miliar. Nilai itu lebih tinggi dari nilai jual objek pajak (NJOP) saat itu yang sebesar Rp 12,195 juta.

Setelah membayar uang muka senilai Rp 50 miliar, kontrak pembelian tak kunjung ditindaklanjuti PT CKU hingga datang tawaran dari Pemprov DKI Jakarta pada pertengahan 2014. Pada Desember 2014, kesepakatan penjualan ke Pemprov DKI Jakarta disepakati dengan nilai Rp 20,755 juta per meter persegi. Pembelian itu sekaligus membatalkan pembelian oleh PT CKU.

Pembelian oleh Pemprov DKI Jakarta itu belakangan dinilai BPK terlampau mahal. Akibatnya, BPK menyimpulkan indikasi kerugian negara senilai Rp 191 miliar yang kemudian direvisi menjadi Rp 173 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement