REPUBLIKA.CO.ID, TULUNGAGUNG -- Sejumlah perajin batik tulis di Desa Majan, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur mengeluhkan sulitnya mencari tenaga pembantu pembatik tangan sebagai dampak modernisasi alat serta rendahnya minat generasi muda terhadap aktivitas batik tulis.
"Masalah utama dalam pengembangan batik tangan adalah tenaga kerja. Sekarang sulit mencari orang yang bisa membatik secara tradisional," kata Surtiyah, perajin batik tuis di Desa Majan, Tulungagung, Selasa (19/4).
Menurut Surtiyah yang telah puluhan tahun menggeluti dunia batik, minimnya tenaga pembatik dipengaruhi dua sebab utama.
Pertama, kata dia, yakni upah atau ekonomi yang dihasilkan dari bekerja sebagai buruh terlalu kecil. "Kedua ya karena tidak adanya generasi penerus yang mau dan suka belajar membatik dengan tangan," ujarnya.
Di tempat usaha rumahan miliknya, Surtiyah mengaku harga batik tulis cukup bagus. Satu kain batik hasil batik tulis dengan motif Gadjah Mada , kata dia, bisa dijual dengan harga antara Rp 500 ribu hingga Rp 750 ribu.
"Dalam situasi normal, capaian produksi dalam sebulan bisa sekitar 10 lembar hingga siap jual," ujar Gunarti, perajin batik tulis rekan Surtiyah.
Kasi Industri Logam dan UMKM Dinas Koperasi Industri dan Perdagangan Kabupaten Tulungagung Hasan Bisri mengakui pembinaan batik tulis untuk remaja dan pelajar masih minim, bahkan nyaris tidak ada.
"Dulu sekitar lima-tujuh tahun lalu kami pernah gelar festival membantik dan pesertanya pelajar dari berbagai sekolah. Tapi setelah itu tidak ada lagi," ujarnya.
Kendati kurang, Hasan mengatakan pembinaan perajin batik tulis aktif mereka lakukan. "Tahun lalu kami sudah melakukan pembinaan agar kerajinan batik tulis tidak semakin ditinggalkan," ujarnya.