Jumat 15 Apr 2016 17:41 WIB

Waspadai Pengaruh LGBT Melalui Game Online

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Ilham
Sejumlah anak bermain game online di sebuah warnet. (ilustrasi)
Foto: Antara/Puji Kurniasari
Sejumlah anak bermain game online di sebuah warnet. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang tua diminta untuk mewaspadai anak-anaknya yang gemar bermain game online atau daring (dalam jaringan). Hal ini karena terdapat beberapa game daring yang mengandung unsur kekerasan bahkan propaganda perilaku menyimpang berupa Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

Seperti dikutip laman sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id, pada Jumat (15/4), Psikolog Jovita Maria Ferliana mengatakan, awalnya game-game tersebut tidak mengandung unsur LGBT. Namun, pada level tertentu seperti level-level tertinggi atau terakhir, unsur-unsur LGBT mulai muncul secara perlahan dan menguat.

“Bila anak terpapar game-game online tersebut secara intensif, perilaku LGBT akan dianggap hal yang biasa dan wajar dan berperilaku LGBT juga suatu hal yang tak perlu dikhawatirkan,” kata Jovita seperti dikutip laman tersebut, Jumat (15/4).

Jovita mengungkapkan beberapa jenis game online yang mengandung propaganda LGBT, seperti Fantastic Boyfriend dan Lesbian Gaming Trysts. Sementara dari beberapa sumber disebutkan beberapa game daring yang dicurigai memiliki propoganda terselubung. Ia menyebutkan, Dragon Age: Inquisition (2014), Final Fantasy XIV: A Realm Reborn (2014), Mass Effect 3 (2012), Anthony Prince a.k.a Gay Tont GTA IV (2010), The Last of Us Left Behind (2014), dan Game Star Wars.

Atas kondisi tersebut, Jovita juga mengingatkan orang tua untuk mewaspadai anak yang menghabiskan banyak waktu bermain game daring atau melakukan chating online. Orang tua juga perlu waspada saat anak sering menerima telepon dari orang yang tak dikenal, menerima paket, surat atau hadiah dari orang tak dikenal. Selain itu, mematikan komputer tiba-tiba saat orang tua memasuki kamar, menjauhkan diri dari kegiatan keluarga dan ketahuan menggunakan akun daring milik orang lain atau memilki akun yang aneh-aneh.

Menurut Jovita, banyak kasus LGBT yang dimulai dari chating dengan orang tak dikenal. Mereka pada awalnya memang hanya ingin kenalan. Namun kalau si anak meresponsnya dengan positif, lama-lama kemudian mereka bisa bertemu, dirayu, dan akhirnya dapat terjebat perilaku LGBT.

Jovita menyatakan, anak akan gampang terbawa perilaku menyimpang LGBT lewat game atau chating online apabila orang tua tidak peduli. Kemudian bisa terjadi jika hilangnya peran atau figur ayah dan kurangnya pemahaman nilai. Kurangnya bimbingan soal konsep diri, soal gender, kepercayaan diri dan pendidikan seks juga bisa menjadi pemicu. Selain itu, dapat pula karena merasa terasing dari pergaulan, penyendiri, di bawah tekanan, dan tidak betah di rumah.

Agar anak tidak terpengaruh perilaku LGBT, Jovita menyarankan untuk mempertegas peran ayah dan ibu di rumah. Selanjutnya dengan memperkuat dan lebih sering berkomunikasi orang tua dengan anak. Orang tua juga harus dipastikan dalam kehidupan anak dan memberikan pendidikan seks yang tepat sejak dini.

“Bimbingan soal konsep diri dan peran masing-masing jenis kelamin (gender role), serta dorong anak mempunyai rasa percaya diri,” kata Jovita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement