Kamis 07 Apr 2016 21:37 WIB

Pemerintah Dinilai Masih Gagap Tangani Terorisme

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Ilham
terorisme
Foto: cicak.or.id
terorisme

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- pejabat sementara (Pjs) Direktur Eksekutif Human Right Working Group (HRWG), Muhammad Hafiz mengatakan, setidaknya ada tiga tingkatan yang harus diperhatikan dalam penanganan terorisme di Indonesia, yaitu intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

Namun, kata Hafiz, penanganan dan penindakan terorisme yang diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dianggap masih melihat pada aspek terorisme. Kondisi ini membuat pemerintah gagap dalam menangani masalah-masalah terorisme.

Dalam penanganan terorisme, pemerintah jangan hanya melihat aksi terorisme sebagai tindakan yang berdiri sendiri, tanpa melihat dua aspek lainnya. "UU penindakan terorisme yang ada saat ini hanya melihat pada aspek ketiga (terorisme),'' kata Hafiz saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (7/4).

Selama ini, lanjut Hafiz, payung hukum yang ada soal penanganan terorisme tidak melakukan upaya meminimalisir benih-benih radikalisme atau intoleransi. Alhasil, penanganan terorisme harus dilakukan secara lebih komprehensif. ''Jadi semua arah, mulai dari menangkal intoleransi, kemudian bagaimana intoleransi itu berubah menjadi gerakan radikal, kemudian gerakan itu menjadi aksi-aksi terorisme,'' tuturnya.

Tidak hanya itu, Hafiz menyebutkan, evaluasi soal penanganan terorisme tidak hanya dilakukan di Densus 88, tapi harus dicantumkan dalam rencana revisi UU Terorisme dan program penanggulanan terorisme oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). "Kemudian upaya-upaya dialog juga harus dikedepankan,'' tuturnya.

Kendati begitu, Hafiz menegaskan, HRWG menilai masih ada celah dalam rencana pemerintah untuk merevisi UUU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Dalam draft revisi UU Tindak Pidana Terorisme tersebut, masih ada pasal-pasal dan klausul yang jsutru melanggengkan proses hukum yang tidak sesuai dengan HAM, seperti perpanjangan masa penahanan dari 40 hari menjadi 60 hari.

''Nyatanya kalau melihat lebih dalam lagi di draft revisi UU itu, masih banyak pasal-pasal yang melanggengkan prose hukum yang tidak sesuai,'' kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement