REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Pasokan obat di RSUD Kota Bekasi mengalami kendala. Sejumlah persoalan yang dihadapi berkaitan dengan regulasi BPJS, keterlambatan pengiriman, dan keterbatasan stok obat dari suplier.
Direktur RSUD Kota Bekasi Titi Masrifahati menerangkan, kelangkaan obat ini salah satunya berkaitan dengan pola pasien RSUD. Sebanyak 80 persen pasien RSUD Kota Bekasi berasal dari pasien BPJS Kesehatan. Sisanya, pasien umum dan pengguna SKTM.
Untuk pasien BPJS Kesehatan, pihak BPJS sudah menyediakan plafon obat-obat tertentu yang disiapkan dalam bentuk aplikasi. "Ini ada beberapa puluh obat yang belum masuk dalam aplikasi itu, padahal obat itu diperlukan," kata Titi kepada Republika.co.id, Kamis (7/4).
Alhasil, kata Titi, pihak RSUD berusaha melakukan pengadaan obat secara mandiri. Yang menjadi kendala, RSUD hingga kini belum dapat mengklaim obat-obat yang sudah diberikan kepada pasien selama triwulan pertama 2016.
Titi menyatakan, kondisi tersebut menimbulkan hambatan cash flow atau perputaran uang di bagian farmasi. Uang yang seharusnya sudah dapat digunakan untuk membeli lagi, terhambat lantaran belum mendapat klaim.
Titi menambahkan, kelangkaan tersebut juga disebabkan adanya beberapa stok obat yang kosong. Terutama, obat kejang dan jantung. Ia menerangkan, proses pembelian obat di RS dilakukan melalui e processing dengan e katalog. Seringkali, pihak RSUD sudah melakukan pemesanan, tapi distributor tidak memberikan informasi secara tertulis mengenai kepastian pengiriman. RS terpaksa terus menunggu dengan harapan obat tersebut masih tersedia.
Lantaran tidak ada informasi tertulis, pihaknya mengaku kesulitan untuk berpindah ke distributor lain atau mengambil langkah selanjutnya. Selain ketidakpastian ketersediaan barang dari pihak distributor, kata Titi, masalah juga muncul dari keterlambatan pengiriman. Padahal, pihak RSUD sudah memperhitungkan stok obat tersebut akan digunakan untuk bulan berikutnya.
"Tapi kedatangan obat-obat yang dibeli dari e-katalog tersebut tidak tepat waktu," ucap dia.